Kemuliaan Pernikahan: Transformasi Hidup dan Tantangan Sosial
TATSQIF ONLINE – Pernikahan adalah saat paling indah dalam hidup manusia, yang bisa mengubah keadaan, kehidupan, dan kebiasaan seseorang. Bagi manusia, pernikahan menjadi tujuan besar ketika berdasarkan pada rasa cinta dan kasih sayang, terutama jika pasangan memiliki visi hidup yang serupa.
Menurut catatan Journal of Marriage and Family, kualitas pernikahan dan kepuasan hidup akan meningkat ketika istri atau suami juga merasakan kebahagiaan dalam pernikahan. Keindahan pernikahan tergambar dengan jelas dalam hal ini.
Sebagian besar orang berpendapat bahwa titik kesuksesan dan keberhasilan hidup seseorang adalah saat ia menikah. Pernikahan merupakan penyempurnaan sebagian agama seseorang, seperti yang terdapat dalam beberapa hadis Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam berikut ini:
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ أُعْطِيَ نِصْفَ الْعِبَادَةِ}
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah,” (HR Abu Ya’la).
Ungkapan setengah dari agama, menyoroti pentingnya pernikahan dalam Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan bukan hanya sebagai tindakan sosial atau kebutuhan biologis semata, tetapi juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah dan amal kebajikan, yang dianjurkan dalam agama Islam.
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {شِرَارُكُمْ عُزَّابُكُم}.
Artinya: Nabi SAW bersabda, “Seburuk-buruknya kalian adalah orang-orang jomblonya kalian,” (HR Abu Ya’la, imam Ath-Thabarani, dan Ibnu ‘Adi)
Hadis ini menyoroti bahwa dalam konteks sosial pada masa itu, keadaan yang paling buruk adalah melajang. Hadis ini menggarisbawahi pentingnya pernikahan dalam pandangan Nabi SAW dan merupakan sebagai nasihat moral terkait kehidupan berkeluarga.
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {اِلْتَمِسُوا الرِّزْقَ بِالنِّكَاحِ}.
Artinya: Nabi SAW bersabda, “Carilah rezeki dengan menikah,” (HR Ad-Dailami).
Imam An-Nawawi Al-Bantani menjelaskan bahwa pernikahan dapat membawa berkah dan mendekatkan rezeki jika niatnya tulus. Pada kenyataannya, pernikahan memberikan motivasi kepada pasangan suami istri untuk mencari rezeki demi memenuhi kehidupan mereka.
BACA JUGA: Konsep Waris dan Tirkah Menurut Perspektif Berbagai Mazhab
Menyikapi Tekanan Sosial dan Kesiapan untuk Menikah
Menikah dalam Islam merupakan ibadah yang memiliki nilai spiritual dan sosial yang besar. Hal ini dipandang sebagai sarana untuk mempertahankan garis keturunan, mencegah perilaku yang tidak senonoh seperti zina dan homoseksualitas, serta membangun keluarga yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, pernikahan juga membawa berkah bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Akan tetapi, seringkali masyarakat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menciptakan tekanan sosial terkait pernikahan. Situasi ini dapat mendorong seseorang untuk memutuskan menikah lebih awal atau bahkan menunda pernikahan. Stigma sosial terhadap pernikahan dalam kaitannya dengan kondisi ekonomi juga menjadi alasan bagi sebagian orang untuk menolak pernikahan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Kapan Nikah”, “Sudah Tua Kok Belum Nikah”, atau “Jangan nikah dulu kalo belum punya gaji tetap” seringkali tidak mempertimbangkan kondisi dan kesiapan seseorang untuk menikah. Hal ini dapat menyebabkan seseorang tidak memikirkan matang-matang keputusan untuk menikah atau menunda pernikahan.
Nabi Muhammad SAW telah menekankan betapa pentingnya menjalani pernikahan dengan kesadaran dan kesiapan yang matang dalam hadis berikut ini:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَن لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu untuk menikah, maka hendaklah menikah. Sebab, itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena itu baginya adalah pelindung.”
Ulama sepakat bahwa hadis tersebut tidak hanya mengacu pada kesiapan materi, tetapi juga kesiapan batin. Pendapat Qadhi Iyadh, seperti yang disampaikan oleh As-Suyuthi, menyatakan bahwa kata “mampu” dalam hadis ini memiliki dua makna. Pertama, mampu secara fisik dan telah baligh untuk menikah. Kedua, “siapa saja yang tidak mampu” menikah (meskipun mampu bersetubuh), disarankan untuk berpuasa.
Hadis lain yang serupa mendorong mereka yang mampu menyediakan atau memiliki kemampuan finansial (thawl) untuk menikah. Thawl diartikan sebagai kemampuan membayar mahar dan memberi nafkah, menguatkan konsep al-ba’ah sebagai tanggung jawab pernikahan.
Meskipun anggapan tentang kesiapan menikah terfokus pada aspek materi, hal ini dapat membuat seseorang menunda pernikahan. Sebaliknya, dalam Islam, sahabat-sahabat Rasulullah yang kurang mampu secara materi tetap dianjurkan menikah. Allah SWT menjanjikan rezeki bagi mereka yang menikah, bahkan dalam kondisi ekonomi yang terbatas. Anjuran menikah sebagai jalan mencapai kecukupan hidup ditegaskan dalam Al-Quran dan hadis.
Nabi Muhammad SAW dalam kutipan terakhirnya dakam hadis ini, menyarankan kepada mereka yang belum mampu menikah untuk berpuasa sebagai peluang untuk merenung dan mempersiapkan diri. Pernikahan seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan keberkahan, untuk itu perlu perencanaan yang baik, pengambilan keputusan secara bijaksana dan bertanggung jawab, lalu hasil akhirnya bergantung pada ketetapan Allah SWT.
Wallahu A’lam
Oleh Putri Maya Sari Tanjung (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Lalu bagaimana dia mengambil jalan pintas buat menikah jadi dia itu hamil duluan karna menurutnya ortunya tidak akan menyetujui pernikahan mereka makanya dia mengambil jalan pintas hamil duluan supaya ortunya menyetujui pernikahan mereka?
Pernikahan memanglah hal yang dianjurkan. Tetapi bukan berarti kita mengambil jalan pintas untuk itu. Sesuatu yang baik haruslah didapatkan dengan cara yang baik pula. Seperti hadits Rasulullah Saw, “Pernikahan merupakan jalan untuk menghindari zina” bukan malah berbuat zina. Wallahu ‘alam.
Bagaimana jika menikah yang tidak di restui salah satu keluarga mempelai ?
Pada dasarnya, jika syarat dan rukun menikah telah dipenuhi, maka pasangan tersebut dapat menikah tanpa restu dari orang tua. Dalam Islam, seorang wanita juga dapat mencari wali hakim jika orang tuanya tidak memberikan restu. Secara fiqih, proses pernikahan dianggap sah dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, namun dalam prakteknya, ada aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan.
Selain memenuhi ketentuan fiqih, aspek adab, akhlak, dan keberkahan juga sangat penting dalam sebuah pernikahan. Keberkahan dan doa restu dari orang tua memiliki nilai yang sangat besar dalam Islam, karena hal ini dapat menambah keberkahan dalam hubungan pernikahan.
Dengan demikian, meskipun pernikahan dapat dianggap sah secara fiqih dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tetapi untuk mencapai keberkahan dan harmoni dalam rumah tangga, kita perlu memperhatikan adab, akhlak, serta mendapatkan restu dan doa dari orang tua.
Kan syarat menikah itu sudah matang fisik dan keuangan,tapi seseorang sudh matang smuanya dari uangnya,fisiknya,materinya dll ,tapi dia sama sekali tidak ingin menikah,dijodohkan pun dia tidak mau,akhirnya dia ingin men jomblo/melajang Sampe akhir hayatnya
Hadits Rasulullah SAW mengenai anjuran menikah yang telah penulis paparkan dalam artikel juga hadits mengenai larangan melajang juga sudah menyorot betapa pentingnya pernikahan itu untuk seseorang yang sudah “mampu”. Dan berpuasa bagi yang belum “mampu”. Rasulullah SAW juga bersabda “Menikah merupakan sunnahku, dan jika diantara kamu tidak ingin menikah maka bukan termasuk golonganku”. Tetapi, anjuran menikah juga tidak melulu membuat kita yang tidak menikah berarti keluar dari Islam. Pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah merupakan cita-cita banyak orang jadi ada baiknya untuk kita yang sudah mampu untuk menikah, segerakanlah.
Bagaimana jika menikah yang tidak di restui dari salah satu keluarga antara yang dua orang yang akan menikah itu?
Jika salah satu keluarga tidak memberikan restu untuk pernikahan, sebaiknya upaya dilakukan untuk meraih restu dengan komunikasi terbuka. Jika tetap tidak berhasil, dapat berkonsultasi dengan ulama atau penasihat keagamaan untuk mendapatkan pandangan dan saran yang lebih mendalam sesuai konteks spesifik.
Menikah itu tidak mengubah apapun termasuk membuka pintu rezeki.
Pertanyaan saya:
Bagaimana pandangan kalian tentang pernikahan?apa pernikahan itu harus dengan orang yang lebih tua,lebih mudah atau yang seumuran?
Pada dasarnya tidak ada patokan umur dalam memilih pasangan untuk menikah. Tetapi, syarat-syarat wanita yang sunnah untuk dipinang bisa menjadi acuan yang baik untuk kita. Dan untuk menghindari adanya fitnah sosial nantinya, seperti pertanyaan “kok istrinya tua banget” dan sebagainya, ada baiknya kita mencari pasangan hidup yang tidak terlalu jauh umurnya dengan kita. Tetapi jika jodohnya dengan yang jauh lebih tua atau jauh lebih muda tidak ada salahnya juga, sesungguhnya islam itu tidak menyulitkan. Wallahu ‘Alam.
Kan syarat menikah itu sudah matang fisik dan keuangan,tapi seseorang sudah matang smuanya dari uangnya,fisiknya,materinya dll,jadi bagaimana kalau seseorang
sama sekali tidak ingin menikah,dijodohkan pun dia tidak mau,akhirnya dia ingin menjomblo/melajang sampai akhir hayatnya?
Jika seseorang telah matang secara fisik dan keuangan namun tidak memiliki keinginan untuk menikah dan memilih untuk menjalani kehidupan sendiri, itu adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Menikah adalah anjuran dalam Islam, tetapi setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. Dalam menjalani kehidupan tanpa pasangan hidup,kita perlu memastikan bahwa keputusan tersebut matang dan mempertimbangkan dampaknya. Selain itu, masih diharapkan untuk mematuhi nilai-nilai Islam, hukum agama, dan berkontribusi positif dalam masyarakat.
masyaallah artikelnya bagus sekali,materi yang dijelaskan juga sangat jelas sehingga mudah untuk di pahami oleh pembaca dan hadist yg di tuliskan di artikel pun sudah sangat bagus.sekian komentar saya
assalamualaikum wr.wb
terima kasih, share yuk!
Bagaimana pendapat anda tentang pergaulan bebas tanpa nikah yang banyak terjadi di tengah masyarakat dalam hubungannya dengan hukum Islam?
Dalam perspektif Islam, pergaulan bebas tanpa ikatan pernikahan tidak sesuai dengan ajaran agama. Islam mengajarkan pentingnya menjaga moralitas, kehormatan, dan melindungi diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Pergaulan bebas dapat membawa dampak negatif, termasuk risiko pelanggaran etika dan kehamilan di luar nikah. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita diatur oleh pernikahan sebagai bentuk yang sah dan diakui oleh agama.
Artikelnya bagus, mudah dimengerti, akan tetapi hukum menikah itu tidak ada dicantumkan oleh saudari putri yang ada, beliau hanya mengatakan menikah itu penting dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Pertanyaan saya, jikalau tidak menikah itu adalah keadaan seburuk buruk manusia, lantas mengapa rabi’ah al-adawiyah orang yang keimanannya tidak perlu kita ragukan lagi lebih memilih untuk menjomblo, padahal sudah banyak orang yang meminang beliau
Rabi’ah al-Adawiyah, sebagai seorang tokoh sufi dan figur spiritual yang terkenal, membuat pilihan hidupnya berdasarkan panggilan spiritual dan dedikasi kepada Tuhan. Pilihan hidupnya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang perawan yang mengejar kedekatan dengan Allah merupakan bagian dari kesalehan dan pengabdian spiritualnya.
Meskipun banyak pria yang meminangnya, Rabi’ah al-Adawiyah memilih untuk tidak menikah agar bisa sepenuhnya fokus pada ibadah, kontemplasi, dan hubungan pribadinya dengan Allah. Keputusannya ini tidak melulu karena menganggap bahwa menikah adalah keadaan seburuk-buruknya manusia, tetapi lebih kepada pemahaman dan panggilan spiritualnya yang mendalam.
Jadi bagaimana pendapat penulis jika seseorang itu sudah mapan akan tetapi memiliki masalah terkait kesehatan biologis nya namun orang tersebut ingin menikah akan tetapi takut jika menikah nanti pasangan nya merasa tidak puas terhadap pernikahan mereka ,dan akhirnya dia tetap melajang sampai tua.
Hukum menikah bisa berubah sesuai dengan keadaan seseorang. Bisa menjadi wajib untuk orang yang sudah siap dari segi finansial, batin dan lainnya. Dan bisa menjadi makruh karena ada sesuatu hal. Seperti yang saudari Melisa tanyakan, bagaimana jika seseorang itu memiliki penyakit, nah karena ditakutkan dia tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya nantinya dalam pernikahan dan malah merugikan salah satu pihak, maka hukum menikah baginya adalah makruh.
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)Nya. Sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya,” QS An-Nur ayat 33.
Mantap mantap
Kan nabi Muhammad menikah 12 kali,apakah ummatnya juga boleh menikah mengikuti nabi Muhammad?
Dalam Islam, menikah adalah sunnah Nabi Muhammad yang dianjurkan untuk diikuti oleh umatnya. Nabi Muhammad menikah dengan tujuan membawa kedamaian, kebahagiaan, dan keberkahan dalam hubungan suami istri.
Meskipun Nabi Muhammad menikah beberapa kali, kita perlu ingat bahwa jumlah pernikahan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad bukanlah standar yang harus diikuti oleh umat Islam. Jumlah tersebut hanya berlaku untuk Rasulullah SaW.
Menurut Islam, seseorang diperbolehkan untuk menikah sampai meiliki 4 orang istri dengan syarat memenuhi kriteria tertentu seperti harus berlaku adil, kesiapan fisik, mental, dan keuangan, serta kemampuan untuk memenuhi hak-hak pasangan dan tanggung jawab sebagai suami atau istri.
artikelnya bagus dan menarik untuk dibaca. tetapi disini saya ingin bertanya selain dari kesiapan finansial maupun batin apakah ada kesiapan yg lain yg harus disiapkan sebelum menikah agar mencapai keharmonisan dalam berumah tangga sehingga tidak akan terjadi perceraian
Terima kasih atas ulasannya. betul sekali, Saudara.
Kesiapan sebelum menikah tidak hanya mencakup aspek finansial dan batin, melainkan juga elemen-elemen penting lainnya. Komunikasi yang efektif menjadi kunci utama, di mana pasangan perlu terbuka, saling mendengarkan, dan memahami satu sama lain. Kesamaan nilai dan tujuan hidup, termasuk rencana masa depan dan nilai-nilai keluarga, membentuk fondasi yang solid. Selain itu, kesiapan mental dan emosional untuk menghadapi tantangan pernikahan, pemahaman akan hak dan tanggung jawab masing-masing, dan kesiapan untuk terus belajar dan berkembang sebagai individu dan pasangan juga sangat penting.
Dukungan dari keluarga, menjaga kesehatan dan kebugaran bersama-sama, serta menjalankan nilai-nilai agama dan spiritualitas juga merupkan faktor penunjang keharmonisan. Dengan mempersiapkan diri secara komprehensif dalam aspek-aspek ini, diharapkan pernikahan dapat mencapai keberhasilan dan kebahagiaan jangka panjang.
Bagaimana jika sudah terjadi pernikahan tiba,,ekonomi si laki laki menurun sehingga tidak dapat menafkahi istrinya.
Apakah ada hak bagi istrinya untuk meminta cerai ?
agaimana jika sudah terjadi pernikahan tiba,,ekonomi si laki laki menurun sehingga tidak dapat menafkahi istrinya.
Apakah ada hak bagi istrinya untuk meminta cerai ?
Dalam Islam, jika ekonomi suami menurun dan tidak mampu menafkahi istrinya, istri memiliki hak untuk meminta cerai setelah memastikan bahwa suami telah berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kewajiban tersebut. Proses meminta cerai melibatkan tahapan seperti musyawarah, mediasi, atau penyelesaian melalui peradilan syariah. Namun, penting untuk mencari solusi terbaik dan mempertimbangkan segala kemungkinan sebelum memutuskan untuk menceraikan pasangan, dengan mempertimbangkan bantuan dari keluarga, teman, atau lembaga sosial. Dalam Islam, menjaga hubungan pernikahan dan berusaha menyelesaikan masalah dengan musyawarah adalah nilai yang sangat dihargai.
nabi bersabda اِلْتَمِسُوا الرِّزْقَ بِالنِّكَاحِ.tapi kenapa kebanyakan manusia memberi pandangan bahwah menikah itu membuat menjadi miskin.coba saudari jelaskan mksd hadits tersebut?
Hadits “اِلْتَمِسُوا الرِّزْقَ بِالنِّكَاحِ” (Carilah rezeki dengan menikah) mengajarkan bahwa menikah adalah sarana untuk mencari rezeki yang halal dan diberkahi oleh Allah. Meskipun terkadang ada pandangan bahwa menikah membuat seseorang miskin karena beban ekonomi baru, seharusnya pemahaman tersebut tidak mengubah fakta bahwa menikah adalah sunnah yang dianjurkan dalam Islam.
Dalam konteks hadits ini, menikah dianggap sebagai cara yang halal dan mendapat berkah untuk mencari rezeki, serta membina keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Oleh karena itu, melalui praktik pernikahan yang Islami, diharapkan pasangan suami-istri dapat mendukung satu sama lain dalam mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.