Kedudukan dan Peranan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Kedudukannya sangat istimewa, karena di dalamnya tidak hanya terdapat ajaran akidah dan ibadah, tetapi juga hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh. Al-Qur’an menjadi dasar utama dalam penetapan hukum Islam, yang kemudian dijelaskan dan diperinci oleh Sunnah Nabi, diperkuat oleh Ijma’ ulama, serta dianalisis melalui Qiyas.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak umat Islam yang lebih menekankan sisi spiritual Al-Qur’an, misalnya menjadikannya bacaan dalam ibadah atau amalan untuk memperoleh pahala. Namun, tidak sedikit yang lalai memahami kandungan hukumnya. Padahal, ayat-ayat Al-Qur’an memberikan arahan yang jelas terkait persoalan sosial, ekonomi, politik, maupun hukum pidana. Oleh sebab itu, memahami Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan membacanya, tetapi harus menggali makna dan hukum yang terkandung di dalamnya agar dapat diamalkan dalam kehidupan nyata.
Pengertian dan Fungsi Al-Qur’an
Secara bahasa, kata al-Qur’ān berasal dari akar kata qara’a yang berarti membaca. Secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril, ditulis dalam mushaf berbahasa Arab, diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.
Fungsi Al-Qur’an sangatlah luas. Pertama, sebagai petunjuk hidup. Allah Swt. berfirman dalam surah al-Isrā’ ayat 9:
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ
Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Kedua, sebagai sumber hukum. Banyak ayat Al-Qur’an yang berisi perintah, larangan, dan pedoman hukum. Ada ayat yang jelas dan tegas, seperti kewajiban shalat, dan ada pula ayat yang bersifat umum, yang kemudian dijelaskan oleh Sunnah Nabi.
Ketiga, sebagai pembimbing akhlak. Nilai-nilai universal seperti kejujuran, keadilan, dan larangan berbuat zalim banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, sehingga ia menjadi pedoman etika yang berlaku bagi seluruh umat manusia.
Keempat, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Al-Qur’an memberikan isyarat tentang fenomena alam, sosial, maupun kehidupan manusia, yang terus dikaji sepanjang zaman.
Kedudukan Al-Qur’an dalam Ushul Fiqh
Dalam ilmu Ushul Fiqh, Al-Qur’an ditempatkan sebagai sumber hukum tertinggi. Semua hukum syariat Islam harus berakar pada Al-Qur’an. Sunnah, Ijma’, dan Qiyas berfungsi melengkapi atau menjelaskan hukum-hukum yang termuat di dalamnya. Allah Swt. menegaskan hal ini dalam surah an-Nisā’ ayat 59:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta pemimpin di antara kamu. Jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa setiap perselisihan hukum harus dikembalikan kepada Al-Qur’an sebagai sumber pertama.
Pandangan Para Ulama
Imam al-Syafi’i dalam kitab al-Risālah menyatakan bahwa semua hukum syariat bersumber dari Al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh Sunnah. Imam Malik menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak boleh ditafsirkan semata-mata dengan akal tanpa dasar syar‘i. Imam Abu Hanifah tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum utama, namun membuka ruang ijtihad untuk kasus tertentu. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah fondasi agama yang berisi hukum-hukum abadi. Sementara al-Ghazali menekankan bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab hukum, tetapi juga kitab moral yang menjadi dasar semua aturan syariat.
Hadis Nabi Muhammad Saw. juga menegaskan pentingnya Al-Qur’an sebagai pedoman hukum. Beliau bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik).
Contoh Penerapan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an memuat banyak ketentuan hukum yang jelas. Misalnya, kewajiban shalat disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 43:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
Artinya: “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
Kewajiban puasa dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Aturan warisan dijelaskan dalam surah an-Nisā’ ayat 11:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْۗ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”
Larangan riba ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 275:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Hukum pidana tentang pencurian dijelaskan dalam surah al-Māidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan, sebagai sanksi dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Prinsip qisas dan diyat dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 178:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu menjalankan qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…”
Contoh-contoh ini menunjukkan betapa Al-Qur’an benar-benar memuat hukum yang jelas, rinci, dan relevan untuk kehidupan manusia.
Kesimpulan
Al-Qur’an adalah sumber hukum tertinggi dalam Islam. Ia menjadi dasar bagi seluruh aturan syariat, baik yang menyangkut ibadah, muamalah, maupun hukum pidana. Para ulama menegaskan bahwa setiap hukum Islam harus berakar dari Al-Qur’an, lalu dijelaskan dengan Sunnah, diperkuat oleh Ijma’, dan dipahami melalui Qiyas.
Dengan memahami Al-Qur’an sebagai sumber hukum, umat Islam dapat menyeimbangkan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia. Al-Qur’an bukan sekadar kitab spiritual, tetapi juga konstitusi ilahi yang mengatur kehidupan dunia dan akhirat.
Puspa Ria (NIM 2420100194 Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Referensi
Abdi, Husnul. “Kedudukan Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Islam, Kenali Fungsinya bagi Muslim.” Liputan6, 26 Mei 2023. https://www.liputan6.com/.
Irma Riyani. “Menelusuri Latar Historis Turunnya Al-Quran dan Proses Pembentukan Tatanan Masyarakat Islam.” Jurnal Studi Alquran dan Tafsir, Vol. 1(1), Juni 2016, hlm. 27.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Aplikasi Resmi Kemenag RI, 2019. QS. An-Nisa’ [4]: 59.
Salim Syukran, Agus. “Fungsi Al-Qur’an Bagi Manusia.” Jurnal Al-I’jaz, Vol.1 (1), 2019, hlm. 99.
Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam.” Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 (1), 2018, hlm. 105.
Syam, Syafruddin. “Sumber dan Metode Perumusan Hukum Islam.” Jurnal AL-KAFFAH, Vol.9 (1), 2021, hlm. 20.
Bagaimana peran Al Qur’an dalam membentuk sistem hukum Islam yang konprehensif
Peran al-Qur’an dalam membentuk sistem hukum Islam sangat fundamental karena ia menjadi pondasi utama bagi seluruh aturan syariat. Al-Qur’an tidak hanya berisi ajaran akidah dan akhlak, tetapi juga memuat prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ḥablun minallāh) dan hubungan manusia dengan sesama (ḥablun minannās). Dalam aspek hukum ibadah, al-Qur’an menetapkan kewajiban shalat, zakat, puasa, dan haji. Dalam bidang keluarga, al-Qur’an mengatur pernikahan, perceraian, nafkah, serta pembagian warisan dengan detail. Dalam bidang sosial-ekonomi, al-Qur’an menekankan larangan riba, perintah menunaikan amanah, serta kewajiban menegakkan keadilan. Bahkan dalam hukum pidana, al-Qur’an memberi ketetapan mengenai qishash, diyat, dan hudud, sambil tetap menekankan nilai keadilan dan kesempatan bertaubat.
Sistem hukum Islam menjadi komprehensif karena al-Qur’an memadukan dua hal: aturan-aturan yang jelas (nash qaṭ‘ī) dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel. Aturan jelas tampak pada hukum warisan yang rinci dalam QS. an-Nisā’: 11–12, sementara prinsip umum terlihat dalam ayat-ayat yang menekankan keadilan, musyawarah, dan kemaslahatan. Prinsip-prinsip umum inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan hukum melalui ijtihad, sehingga hukum Islam bisa menjawab persoalan baru sesuai perkembangan zaman tanpa keluar dari nilai-nilai al-Qur’an.
Dengan kedudukan itu, al-Qur’an berperan sebagai sumber pokok hukum Islam sekaligus memberikan kerangka dasar bagi terbentuknya syariat yang menyeluruh (syāmil) dan seimbang (mutawāzin). Ia menjaga keseimbangan antara hak individu dan kepentingan masyarakat, antara dunia dan akhirat, serta antara aspek moral dan legal. Karena itu, sistem hukum Islam yang komprehensif pada dasarnya adalah pancaran dari petunjuk al-Qur’an yang dilengkapi penjelasan sunnah dan hasil ijtihad para ulama.
Mengapa ushul fiqih menjadi cabang ilmu yang penting dalam syari’at islam?
Apa perbedaan antara ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam) dan ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an?
Uṣūl fiqh menjadi cabang ilmu yang sangat penting dalam syariat Islam karena ia berfungsi sebagai metodologi untuk memahami dan menggali hukum-hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Tanpa uṣūl fiqh, orang bisa salah menafsirkan ayat atau hadis, sehingga hukum yang diambil tidak sesuai dengan maksud syariat. Misalnya, uṣūl fiqh mengajarkan bagaimana memahami lafaz umum (‘āmm) dan khusus (khāṣṣ), mutlak dan muqayyad, nasikh dan mansukh, serta kaidah istidlāl (pengambilan dalil). Dengan bekal ini, seorang mujtahid bisa menilai mana hukum yang tetap berlaku, mana yang sudah dihapus, serta bagaimana menerapkannya dalam kasus baru.
Uṣūl fiqh juga penting karena syariat Islam tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga muamalah, sosial, politik, ekonomi, dan hukum pidana. Persoalan kehidupan selalu berkembang, sementara nash (teks al-Qur’an dan hadis) jumlahnya terbatas. Maka, melalui uṣūl fiqh, ulama dapat melakukan ijtihad untuk menjawab masalah-masalah baru dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat. Misalnya, lahirnya hukum ekonomi syariah, fatwa tentang teknologi modern, hingga aturan terkait kesehatan dan lingkungan, semuanya bisa dirumuskan dengan kerangka uṣūl fiqh.
Selain itu, uṣūl fiqh menjaga agar hukum Islam tetap konsisten, tidak hanya mengikuti hawa nafsu atau tradisi semata, tetapi selalu merujuk pada dalil yang benar. Dengan kata lain, uṣūl fiqh adalah alat ukur agar istinbāṭ hukum bersifat objektif, ilmiah, dan sesuai dengan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat), yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Karena itulah, uṣūl fiqh disebut sebagai “induk metodologi hukum Islam.” Tanpanya, syariat akan kehilangan arah, tetapi dengannya syariat Islam bisa diterapkan secara benar, adil, dan relevan sepanjang zaman.
Bagaimana kedudukan Al-Qur’an dibandingkan dengan sumber hukum Islam lainnya seperti Sunnah, ijma’ dan qiyas?
Kedudukan al-Qur’an dibandingkan dengan sumber hukum Islam lainnya menempati posisi pertama dan tertinggi, sebab ia adalah kalāmullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai petunjuk hidup. Semua sumber hukum lain harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an. Sunnah Nabi ﷺ berada di urutan kedua, berfungsi sebagai penjelas, perinci, dan penguat isi al-Qur’an. Misalnya, al-Qur’an memerintahkan shalat, tetapi sunnah menjelaskan jumlah rakaat, bacaan, dan tata caranya.
Adapun ijma‘, yaitu kesepakatan para ulama mujtahid pada suatu masa terhadap hukum syar‘i, kedudukannya diterima sebagai hujjah karena kesepakatan itu pasti didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah. Sementara qiyās, yakni menetapkan hukum suatu perkara baru dengan cara menganalogikan kepada hukum yang sudah ada karena kesamaan illat (sebab hukum), hanya bisa diterapkan jika ada landasan dari al-Qur’an atau sunnah. Contoh qiyās adalah pengharaman narkoba dengan menganalogikannya pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan.
Dengan demikian, al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pokok, sunnah adalah penjelas dan penguat, ijma‘ adalah legitimasi kolektif ulama, dan qiyās adalah alat ijtihad untuk menghadapi persoalan baru. Keempatnya saling melengkapi, tetapi hierarkinya tetap menempatkan al-Qur’an sebagai rujukan tertinggi.