TATSQIF ONLINE – Coretan kecil ini merupakan bagian dari buku Melukis Bintang-Bintang karya Sylvia Kurnia Ritonga, yang sudah terbit pada 2023 lalu. Dipersembahkan untuk semua ibu hebat dan tangguh.
——————
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
***
Suara gemericik air terdengar jelas dari kamar Ibu, sepertinya Ibu sedang berwudu dan akan melaksanakan salat tahajud yang merupakan rutinitasnya sejak dulu.
Jarum jam menunjuk pukul 3 pagi. Baru Ibu seorang di rumah mungil itu yang mulai beraktivitas. Setelah berwudu, ia bergegas ke ruang musala. Tak lupa ia menyalakan lampu ruang keluarga yang menyatu ke ruang musala. Seketika ruangan tersebut menjadi terang.
Sejak sepuluh tahun yang lalu, Ibu hampir tak pernah absen mendirikan salat tahajud. Terlebih di usianya yang hampir menginjak kepala enam saat ini, menopause telah mengakhiri kedatangan ‘tamu bulanan’ itu.
Asam urat yang diderita Ibu beberapa tahun terakhir pun, tidak menyurutkan semangatnya untuk melaksanakan salat tahajud. Hanya satu yang membedakan, sejak Ibu sakit asam urat, setiap kali bangun dan berusaha berjalan, rasa nyeri itu sangat terasa menyiksa persendian kakinya, ibarat menginjak ratusan duri tanpa alas kaki.
Sore itu Ibu tampak terduduk lemas di depan pintu dapur. Ia tidak bisa meneruskan pekerjaannya memasakkan bubur nasi untuk suaminya. Kakinya terasa nyeri dan panas tiada terperi. Asam urat Ibu kambuh lagi.
“Apakah kaki Ibu masih sakit?” tanya Ade khawatir. Anak bungsunya itu segera datang menghampiri. Dielusnya pelan kaki Ibu yang tampak bengkak.
“Ibu istirahat saja, biar Ade saja yang melanjutkan. Mari Ade bantu Ibu ke kamar,” bujuknya dengan lembut.
Ibu menuruti kata-kata Ade. Dengan bantuan Ade, Ibu naik ke dipan lusuh di kamar mereka. Suaminya tampak tertidur pulas, dan tidak menyadari kedatangannya.
“Kalau buburnya sudah masak, tolong disiapkan dan bantu kasih ayahmu makan,” ucapnya pada Ade sembari menahan rasa nyeri yang masih mendera persendiannya. “Ibu mau istirahat sebentar,” lanjutnya.
Ade mengangguk kecil. Ia bergegas ke dapur, dan melaksanakan perintah ibunya. Setelah semuanya selesai, ia kembali ke kamar Ibu dan Ayah dengan membawa semangkuk bubur nasi yang masih panas.
“Ayah, makan dulu, yuk. Biar Ayah minum obat lagi,” ajaknya pelan. Ia khawatir membuat Ibu terbangun.
Ayah membuka matanya, melirik Ade sekilas dan berusaha untuk duduk dengan susah payah. Tanpa diminta, Ade segera membantu ayahnya duduk.
“Ayah mau makan sendiri atau disuapin?” tanya Ade.
“Ayah makan sendiri saja,” jawab Ayah pelan seraya mengambil sesendok bubur dan menyuapkannya ke mulut. Ditelannya segera bubur itu meski perutnya terasa sangat mual dan ingin menolak apa pun yang masuk.
“Huek.” Ayah muntah pada sendokan ketiga. Ade menyodorkan ember kecil yang telah dibalut kantong plastik ke depan ayahnya. Ayah kembali muntah-muntah sehingga membuat Ibu terbangun.
Setahun terakhir ini, Ayah mulai sakit-sakitan. Berbagai macam pengobatan telah dicoba. Sudah banyak rumah sakit dan dokter yang dikunjungi, sinshe dan tabib juga telah disambangi, Ayah juga dibawa berobat ke ahli bekam dan ruqyah. Semuanya dilakukan demi kesembuhan Ayah. Hingga akhirnya, penyakit Ayah yang sebenarnya terungkap, ternyata ada tumor ganas di dalam perutnya.
Ibu yang selalu setia merawat dan mendampingi Ayah berobat ke sana-kemari, tidak terlalu peduli lagi dengan asam uratnya yang sewaktu-waktu bisa kambuh. Setiap kali merasakan sakit, Ibu mengatasinya dengan mengonsumsi pil penghilang rasa sakit, dan obat koyo.
“Ibu juga harus sekalian berobat. Kasihan Ibu, asam urat Ibu semakin mengkhawatirkan,” kata Ade mengingatkan pada suatu hari.
“Bagi Ibu, kesehatan ayahmu yang terpenting. Selama Ibu masih bisa berjalan, itu artinya Ibu masih sehat dan bisa ber-khidmah kepada ayahmu. Kalau ayahmu sehat, Ibu pasti akan jauh lebih sehat,” ucap Ibu menolak dengan halus. Berkali-kali dibujuk, jawaban Ibu tetap sama.
Ibu bekerja sebagai guru di SD Negeri di desanya. Karena harus merawat Ayah dan mendampinginya berobat rutin ke ibu kota provinsi, pekerjaannya jadi terbengkalai. Tetapi Ibu tidak punya pilihan. Ayah tidak mau pergi berobat jika Ibu tidak ikut menemani. Bagi Ibu, berbakti pada suami demi mendapatkan rida Allah adalah hal yang paling utama.
“Ibu, saya mohon maaf harus izin lagi, saya harus bawa suami saya kemoterapi ke rumah sakit di Medan. Operasi pengangkatan tumor di Penang sebulan yang lalu ternyata tidak cukup untuk memutus jaringan tumor di lambung suami saya. Saya mohon kemakluman Ibu lagi,” ucapnya sendu saat memohon izin kepada kepala sekolah untuk ke sekian kalinya.
Selama 30 tahun lebih menjadi seorang pendidik, terbilang Ibu jarang sekali absen mengajar kecuali saat cuti melahirkan atau sakit parah. Ibu sangat bertanggung jawab dengan tugasnya untuk mencerdaskan anak bangsa. Namun, di situasinya saat ini, ia perlu fokus mengurus suami.
“Baik, Bu. Tidak apa-apa, saya sangat memaklumi. Kelas Ibu akan di-handle oleh guru-guru yang lain secara bergantian. Ibu tidak usah memikirkan kerjaan di sini, semoga suami Ibu segera pulih dan sehat kembali. Ibu juga jaga kesehatan ya,” jawab Ibu Kepala Sekolah dengan bijak.
Selama ini Ibu sudah bekerja dengan sangat baik. Tidak ada alasan baginya melarang Ibu pergi untuk keperluan darurat seperti ini.
“Terima kasih, Ibu. Semoga Ibu sehat selalu, salam buat rekan-rekan guru di sekolah.” Ibu undur diri dari hadapan Ibu Kepala Sekolah.
Ibu segera bergegas keluar dari rumah bercat cokelat susu itu dan naik ke mobil Hiline hitam milik keluarganya, yang terparkir di halaman rumah Ibu Kepala Sekolah.
“Ayo, kita berangkat,” ucap Ibu kepada Ade, anak bungsunya yang selalu setia membawa Ayah dan Ibu berobat ke mana-mana.
Bagi Ade, sosok ibunya adalah buku kehidupan yang mengajarkan banyak hal berharga, Ibu selalu bersyukur di kala senang, dan bersabar di kala susah. Berbagai cobaan yang datang padanya, membuat Ibu semakin giat beribadah, dan memasrahkan semua urusannya pada Ilahi.
Cobaan yang datang silih berganti tidak membuatnya frustrasi. Ibu berusaha tegar. Ia tidak pernah mengeluh di depan anak-anak, dan keluarga besarnya. Walaupun terkadang sesak di dada tidak tertahankan lagi, Ibu hanya menangis sebentar, dan kembali berusaha tegar dan kuat seperti biasa.
Salat tahajud adalah obat mujarab bagi Ibu untuk menumpahkan seluruh kesedihan, dan beban hidupnya kepada Sang Pencipta. ibu meyakini bahwa setiap masalah pasti ada solusinya, begitu juga setiap penyakit pasti ada obatnya. Suatu saat Allah akan mengabulkan segala doa, dan harapan yang ia panjatkan di setiap penghujung malam.
Selepas salat tahajud dan bermunajat, hatinya menjadi lebih lapang, dan ikhlas untuk menjalani hari esok dengan segala lika-likunya. Semoga Ibu semakin sehat, sabar, dan senantiasa bersyukur.
***