Jejak Politik Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, Simak
TATSQIF ONLINE – 14 Februari tahun 2024 menjadi momen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia, dengan terselenggaranya pemilihan umum untuk ke sekian kalinya. Oleh karena itu, sangat relevan untuk mengulik sejarah singkat peran yang dimainkan oleh komunitas Muslim Indonesia dalam arena politik di negara ini.
Dua entitas gerakan keagamaan yang dimaksud tersebut adalah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya baru saja mendapatkan penghargaan Zayed Award for Human Fraternity 2024 pada 5 Februari lalu.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia, kontribusi kaum muslimin yang diwakili oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak dapat dipandang sederhana. Tokoh-tokoh penting dari kedua gerakan keagamaan kaum muslimin ini berperan besar terhadap pembangunan sumber daya manusia, termasuk dalam bidang politik.
BACA JUGA: Politik Pencitraan, Begini Seharusnya dalam Islam
Muhammadiyah Bersama Masyumi
Melansir dari goodnewsfromindonesia.id, Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 sudah melakukan pergerakan sosial keagamaan, yang murni melibatkan warga pribumi. Di tengah penjajahan Belanda di tahun-tahun tersebut, Muhammadiyah sudah mulai membangun sekolah bahkan rumah sakit.
Di awal kemerdekaan, kontribusi Muhammadiyah tidak terhenti pada kegiatan sosial dan keagamaan saja. Bersama dengan ormas Islam lain seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah berperan besar dalam terbentuknya partai politik Islam pertama dan terbesar di Indonesia, yakni partai Masyumi.
Kelahiran Masyumi sebagai partai politik terjadi ketika Kongres Umat Islam (KUII) pada 7 November 1945 di Yogyakarta. Muhammadiyah sebagai tuan rumah pelaksanaan kongres tersebut, yang diselenggarakan di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah; sebuah sekolah kader Muhammadiyah.
Kesetiaan Muhammadiyah bersama Masyumi terus berlangsung dalam berbagai dinamika politik di negeri ini. Hingga akhir perjalanannya di tahun 1960 partai Masyumi dibubarkan oleh rezim.
Nahdlatul Ulama sebagai Partai
Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi berdiri pada tahun 1926, tetapi nafas pergerakannya sudah terlebih dahulu hidup sebelum tahun kelahirannya. Banyaknya pesantren tua yang sudah berusia ratusan tahun sebelum berdirinya NU, dan memiliki sejarah pergerakan yang sejalan dengan NU, menunjukkan bahwa NU telah mengakar dengan kuat di tengah masyarakat.
Menariknya, para pendiri NU merupakan tokoh-tokoh besar dari pesantren tua tersebut, dan tokoh agama yang memiliki ribuan santri dan pengikut. Dalam jejak politiknya, NU menjadi entitas terbesar umat Islam yang menarik.
NU yang awal pendirianya sebagai sebagai organisasi Islam, ternyata dalam dinamika perjalannya pernah terlibat secara langsung dalam kontestasi elektoral. Tepatnya pada Kongres NU tahun 1949, dimana sebelumnya NU bersama Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya tergabung dalam payung besar Masyumi. Hasil dari ijtihad bertema politik dalam Kongres tersebut akhirnya menjadikan NU sebagai partai politik.
Keluarnya entitas besar dan penting NU dari tubuh Masyumi, akhirnya membuat partai Masyumi di pemilu pertama tahun 1955 tidak menjadi partai pemenang. Masyumi hanya mendapat urutan ke-2 setelah PNI, kemudian posisi ketiga diisi NU.
Sejak saat itu, di tahun-tahun selanjutnya dalam tema politik, umat Islam yang diwakili NU dan Muhammadiyah baru kembali bersatu di PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dalam fusi partai zaman Orde Baru, walaupun tidak semaksimal performa awal pembentukan Masyumi.
Selama periode tersebut, Muhammadiyah lebih berfokus pada aspek pendidikan dan sosial, dan menjauhi keterlibatan secara langsung ke dalam ranah politik, hingga mampu melahirkan banyak lembaga pendidikan tinggi hingga rumah sakit besar di berbagai kota di Indonesia.
Kesimpulan Jejak Perjuangan Politik Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah
Dalam perjalanan sejarah politiknya, dua organisasi masyarakat (ormas) besar yang mewakili umat Islam di Indonesia ini mengalami dinamika menarik yang patut dikaji lebih lanjut. Meskipun pada hari ini terlihat bahwa keduanya menjauh dari keterlibatan dalam aktivitas politik praktis, namun fakta singkat menunjukkan bahwa keadaan ini berbanding terbalik dengan masa lalu.
Tahun 1945 hingga 1960 Muhammadiyah secara terang dan jelas menjadi anggota istimewa dari partai Masyumi. Kemudian, NU di tahun 1949 memutuskan untuk menjadi kontestan partai politik. Dua fakta tersebut sudah dapat menjawab bahwa kedua ormas tersebut tidak buta politik dan ikut andil dalam dinamika perjalanan negeri ini.
Wallahu A’lam
Oleh Shofian Rahmat