Ihtikar dalam Fiqh Muamalah: Larangan dan Hukumnya, Simak
TATSQIF ONLINE – Fiqh muamalah sebagai cabang dari ilmu fikih yang mengatur hubungan antar manusia dalam bidang ekonomi dan sosial memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas. Salah satu praktik ekonomi yang menjadi perhatian dalam fiqh muamalah adalah ihtikar, yaitu tindakan menimbun barang kebutuhan pokok dengan tujuan meraup keuntungan besar saat harga naik. Praktik ini, meski dianggap sah oleh sebagian pelaku pasar dalam sistem ekonomi liberal, justru dipandang sebagai perbuatan yang tercela dan merugikan dalam pandangan Islam.
Dalam Islam, prinsip keadilan, tolong-menolong, dan keseimbangan dalam muamalah sangat ditekankan. Oleh karena itu, tindakan ihtikar tidak hanya dipertimbangkan dari aspek ekonomi semata, tetapi juga dari sisi moral, sosial, dan spiritual. Artikel ini akan mengkaji secara komprehensif pengertian, dasar hukum, syarat-syarat, serta implikasi hukum dari praktik ihtikar menurut fiqh muamalah.
Pengertian Ihtikar
Ihtikar secara bahasa berasal dari kata hakara yang berarti menahan atau menyimpan. Dalam istilah fiqih, para ulama berbeda pendapat mengenai definisinya, namun inti dari ihtikar adalah menimbun barang kebutuhan pokok dengan tujuan memperoleh keuntungan besar dari kesulitan orang lain saat harga melonjak.
Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, ihtikar adalah perbuatan menahan barang kebutuhan masyarakat di waktu harga naik untuk dijual dengan harga yang lebih mahal dan merugikan kepentingan umum. Ia menegaskan bahwa ihtikar merupakan praktik yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan dalam Islam.
Dalil-dalil Diharamkannya Ihtikar
Pengharaman ihtikar didasarkan pada dalil dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama. Dalam Al-Qur’an, terdapat isyarat tentang larangan menimbun barang secara merugikan masyarakat, sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 34:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Hadis Nabi Muhammad juga secara tegas menyebutkan larangan ihtikar. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi bersabda:
لا يحتكِرُ إلَّا خاطِئٌ
Artinya: “Tidak ada yang melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah.” (HR Muslim).
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menegaskan bahwa ihtikar adalah salah satu bentuk kezaliman yang dilarang karena menyebabkan penderitaan bagi masyarakat umum demi keuntungan pribadi.
Syarat-Syarat Ihtikar
Ulama fiqih memberikan syarat-syarat tertentu agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai ihtikar, antara lain:
- Barang yang ditimbun adalah kebutuhan pokok masyarakat, seperti bahan makanan, obat-obatan, dan sejenisnya.
- Penimbunan dilakukan pada masa krisis atau kelangkaan, ketika masyarakat benar-benar membutuhkan barang tersebut.
- Tujuan penimbunan adalah untuk menjualnya kembali dengan harga tinggi yang tidak wajar.
- Tindakan tersebut menimbulkan kesulitan atau mudarat bagi orang banyak.
Dalam hal ini, Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa ihtikar tidak terbatas pada bahan makanan saja, tetapi mencakup segala jenis barang yang sangat dibutuhkan masyarakat jika penimbunannya membawa mudarat.
Pandangan Madzhab Fiqih Mengenai Ihtikar
Para ulama dari empat madzhab memiliki kesamaan dalam mengharamkan ihtikar, tetapi berbeda dalam rincian aplikasinya. Madzhab Hanafi, sebagaimana disebutkan oleh al-Kasani dalam Bada’i al-Shana’i, membatasi ihtikar hanya pada makanan di kota-kota besar. Madzhab Maliki dan Syafi’i memperluas cakupan ihtikar meliputi semua barang kebutuhan pokok yang apabila ditimbun akan merugikan masyarakat. Sementara itu, madzhab Hanbali memasukkan kebutuhan primer dan sekunder sebagai objek ihtikar apabila ada kemudaratan.
Hikmah Larangan Ihtikar
Larangan ihtikar mengandung hikmah besar bagi kemaslahatan umat. Pertama, menjaga stabilitas ekonomi dan harga pasar. Kedua, menghindari eksploitasi terhadap kebutuhan orang lain. Ketiga, mendorong sikap dermawan dan menjauhkan dari sifat tamak. Keempat, membangun solidaritas sosial, terutama dalam kondisi darurat atau krisis.
Dalam pandangan Islam, pasar harus menjadi tempat yang bersih dari praktik penipuan, monopoli, dan penimbunan. Sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Zakah, pasar merupakan wadah muamalah yang harus dihiasi dengan kejujuran, keterbukaan, dan keadilan.
Sanksi Terhadap Pelaku Ihtikar
Islam tidak hanya melarang ihtikar secara moral dan etik, tetapi juga menetapkan sanksi terhadap pelakunya. Dalam sistem khilafah, pemerintah berhak turun tangan untuk mengatasi ihtikar dengan cara memaksa pelaku menjual barangnya kepada publik dengan harga yang wajar. Bahkan dalam kondisi tertentu, pelaku dapat dikenai hukuman ta’zir.
Menurut Abu Zahrah dalam Tarikh al-Fiqh al-Islami, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak masyarakat dan memastikan distribusi barang secara adil. Oleh karena itu, campur tangan negara dalam urusan ihtikar merupakan bentuk implementasi dari maqashid al-shariah, yaitu menjaga kemaslahatan umum.
Penutup
Ihtikar adalah bentuk muamalah yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang menekankan keadilan, kepedulian sosial, dan kemaslahatan bersama. Meskipun dalam praktik ekonomi modern sering kali ditemui bentuk-bentuk penimbunan barang yang dianggap sah secara legal, Islam menilainya dari sisi etika dan dampaknya terhadap masyarakat luas. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami dan menghindari praktik ihtikar, serta mendukung sistem ekonomi yang lebih adil dan berkeadilan sosial. Wallahua’lam.
Peri Anti Nasution (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary)

Apakah ihtikar hanya berlaku pada barang pokok, atau juga pada jasa atau aset lain yang sangat dibutuhkan masyarakat?
Bagaimana ihtikaar menyebabkan ketidak adilan distribusi barang di masyarakat dan
Kenapa ihtikar dianggap sebagai tindakan yang merugikan masyarakat
Jadi, bagaimana misalnya saya membeli barang di sebuah daerah yang harganya cukup lumayan murah seperti, contoh: saya membeli beberapa handphone di daerah batam yang harganya di bawah harga biasanya misal per barang di hargai Rp, 3.500.000, lalu saya jual barang tersebut ke daerah sidimpuan dengan harga yang biasanya, misalnya per barang di harga 4.500.000.
Apakah ini termasuk kedalam hukum ihtikar??
Terimakasih.