Fiqh & Ushul FiqhTasawuf

Hakim Syariat: Mengungkap Kebijaksanaan dan Keadilan Allah

TATSQIF ONLINE Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah pencipta dan pengatur alam semesta. Salah satu sifat utama-Nya adalah al-Hakim, yang berarti Maha Bijaksana. Selain itu, Allah SWT juga memiliki sifat al-Hakam, yang berarti Pembuat Hukum Syariat.

Sebagai hakim, Allah SWT adalah sumber dari semua hukum syariat yang berlaku sejak zaman Nabi Adam alaihissalam hingga Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam. Syariat ini berfungsi untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dengan tujuan mencapai kebaikan dan kesejahteraan.

Hukum syariat bukanlah aturan biasa yang dibuat oleh manusia, melainkan perintah langsung dari Allah yang Maha Mengetahui. Sebagai Sang Pencipta, Allah menurunkan hukum-hukum tersebut demi menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan manusia.

Dalam istilah al-hakim dan asy-syari, kita menyebut Allah SWT sebagai pencipta dan pembuat hukum. Rasulullah SAW tidak memiliki otoritas independen dalam membuat hukum dan syariat; beliau diberi tugas untuk menjelaskan aturan-aturan hukum syariat yang berasal dari wahyu Allah SWT.

Terdapat dua jenis wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah SAW: wahyu matluw (Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (Hadis).

Dari definisi hukum dan penjelasan terkait, kita dapat menyimpulkan bahwa hakim adalah:

الحَاكِمُ هُوَ وَاضِحُ الْأَحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَمُنْشِؤُهَا وَمَصْدَرُهَا

Artinya: “Hakim adalah pembuat, penetap, pencipta, dan sumber hukum.”

Dengan harakat, kalimat tersebut menjadi:

الحَاكِمُ الَّذِي يُدْرِكُ الْأَحْكَامَ وَيُظْهِرُهَا وَيَعْرِفُهَا وَيَكْشِفُهَا

Artinya: “Hakim adalah yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum.Allah SWT sebagai pencipta hukum memiliki kekuasaan mutlak.”

Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl ayat 90, Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Ayat ini menegaskan bahwa keadilan yang Allah perintahkan adalah bagian dari sistem hukum yang sempurna. Keadilan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, sosial, politik, maupun ekonomi.

Muhammad Qutb dalam bukunya Islam: The Misunderstood Religion menjelaskan bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai al-Hakam, Allah menetapkan hukum untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan manusia dengan sesama (hablun minannas).

Hukum-hukum ini disampaikan melalui wahyu kepada Nabi Muhammad SAW dan dijelaskan dalam Al-Qur’an serta Hadis. Kedua sumber ini menjadi dasar utama dari hukum syariat yang mengatur kehidupan umat Islam.

BACA JUGA: Syariah, Usul Fiqih, dan Fiqih: 3 Pilar Pembentuk Hukum Islam

Syariat merupakan sistem hukum Islam yang Allah turunkan sebagai panduan hidup manusia. Dalam bahasa Arab, syariat berarti jalan yang lurus dan mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, interaksi sosial, ekonomi, politik, hukum pidana, serta hukum keluarga.

Abul A’la Maududi dalam The Islamic Way of Life menyatakan bahwa syariat bukan hanya sekumpulan aturan, melainkan panduan lengkap yang harmonis untuk mengatur kehidupan manusia, baik secara materi maupun spiritual. Tujuan utama syariat adalah menegakkan keadilan dan membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Allah berfirman dalam Alquran surah Al-Anbiya ayat 107:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

Artinya:“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Menurut Yusuf al-Qaradawi dalam The Lawful and the Prohibited in Islam, Allah memberikan syariat sebagai rahmat untuk melindungi hak-hak individu dan mencegah ketidakadilan. Syariat juga berperan aktif dalam menegakkan keadilan dalam kehidupan umat manusia.

Hukum syariat memiliki karakteristik yang membedakannya dari hukum buatan manusia. Pertama, hukum ini bersifat ilahiah, yang berarti berasal langsung dari Allah. Karena itu, hukum syariat sempurna dan tidak memerlukan perubahan. Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an menegaskan bahwa hukum syariat mencerminkan kebijaksanaan Allah yang tak terjangkau oleh akal manusia.

Kedua, hukum syariat bersifat universal dan berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang ras, status sosial, atau kebangsaan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Hujurat ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Ketiga, hukum syariat bersifat abadi. Prinsip-prinsip dasarnya tetap relevan meskipun zaman berubah, karena hukum ini berasal dari pengetahuan Allah yang sempurna. Sayyid Qutb dalam Milestones menegaskan bahwa syariat adalah hukum ilahi yang bersifat final dan tak terbantahkan.

BACA JUGA: Menggugat Teori Ushul Fiqh Konvensional: Kritik dan Inovasi Hallaq

Syariat berfungsi sebagai panduan bagi manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Al-Qur’an Surah Al-Mulk ayat 2 menyebutkan:

ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Artinya:“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”

Dengan mematuhi syariat, manusia dapat mencapai ridha Allah serta mendapatkan balasan kebaikan di akhirat. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam Al-Turuq Al-Hukmiyyah menegaskan bahwa setiap hukum dalam syariat membawa kebaikan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Syariat juga berperan dalam menjaga hak-hak manusia, seperti hukum pidana Islam yang mengatur hukuman setimpal bagi pelaku kejahatan, serta hukum keluarga yang melindungi hak perempuan dan anak-anak.

Keadilan merupakan prinsip utama dalam syariat. Allah SWT memerintahkan umat-Nya untuk berlaku adil dalam segala hal, termasuk kepada musuh. Allah SWT menyebutkan dalam Alquran Surah Al-Ma’idah ayat 8:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Dalam pandangan Islam, perasaan atau emosi pribadi tidak boleh mempengaruhi keadilan. Seyyed Hossein Nasr dalam The Heart of Islam menyatakan bahwa keadilan adalah inti dari hukum Allah, dan ukuran setiap tindakan manusia harus berdasarkan prinsip ini.

Hadis Nabi SAW juga menekankan pentingnya keadilan tanpa diskriminasi. Salah satu hadis berbunyi:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Artinya:“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang istimewa di hadapan hukum Allah, termasuk keluarga Nabi. Semua orang, tanpa terkecuali, harus tunduk pada hukum yang sama.

Para ulama sepakat bahwa hukum yang ada adalah wahyu dari Allah, bukan dari rasul atau mujtahid. Namun, perbedaan di antara ulama muncul dalam hal apakah akal manusia bisa langsung memahami hukum-hukum Allah atau perlu perantara seperti rasul untuk mengetahuinya.

Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul al-Fiqh, membagi pandangan ini menjadi tiga kelompok besar:

1. Mazhab Asy’ariyah, yang mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari, berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui hukum Allah tanpa bantuan rasul dan kitab-kitab-Nya. Menurut mazhab ini, kebaikan dan keburukan ditentukan oleh Syari’ (Allah), bukan semata-mata oleh penalaran akal manusia.

2. Mazhab Mu’tazilah, yang mengikuti Washil bin Atha’, berpendapat bahwa akal sendiri dapat mengetahui hukum-hukum Allah tanpa perlu perantara rasul atau kitab. Mereka menganggap bahwa sesuatu dianggap baik jika akal menganggapnya baik, dan buruk jika akal menganggapnya buruk.

3. Mazhab Maturidiyah, yang mengikuti ajaran Abu Mansur al-Maturidi, mengambil posisi tengah. Menurut mazhab ini, akal sehat bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, akal tidak dapat menentukan hukum-hukum Allah secara langsung, karena keterbatasannya dan kemungkinan perbedaan pandangan antarindividu. Oleh karena itu, diperlukan perantara berupa wahyu dan rasul untuk mengetahui hukum Allah SWT.

Pendapat Mazhab Maturidiyah pada akhirnya cenderung sejalan dengan Asy’ariyah, yang mengakui perlunya perantara untuk mengetahui hukum Allah. Di antara berbagai pandangan ulama, pendapat Mu’tazilah terasa lebih relevan bagi sebagian orang, terutama dalam kaitannya dengan keadilan Tuhan.

Menurut Mu’tazilah, individu yang belum menerima dakwah Islam tetap dianggap sebagai mukallaf berdasarkan kemampuan akalnya. Hal ini masuk akal karena salah satu syarat menjadi mukallaf adalah memiliki akal sehat.

BACA JUGA: MUI Fatwakan Haram Salam Lintas Agama: Berikut 3 Poin Penting

Syariat yang Allah SWT turunkan mengandung banyak hikmah. Pertama, syariat mendidik manusia untuk hidup disiplin dan bertanggung jawab. Setiap aspek kehidupan memiliki aturan yang jelas, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun interaksi sosial.

Kedua, syariat mencegah ketidakadilan dan kezaliman. Misalnya, larangan riba dalam ekonomi Islam melindungi masyarakat dari eksploitasi, sementara zakat mendorong distribusi kekayaan yang lebih adil.

Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam Islamic Perspectives on Wealth Creation menjelaskan bahwa hukum ekonomi Islam, seperti zakat dan larangan riba, dirancang untuk menjaga keseimbangan sosial dan mencegah ketidakadilan dalam distribusi kekayaan.

Allah SWT sebagai hakim telah menetapkan syariat sebagai panduan hidup yang sempurna dan adil. Syariat mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya, serta mengandung hikmah yang membawa kebaikan bagi semua orang.

Mematuhi hukum Allah bukan hanya akan mendatangkan kebaikan di dunia, tetapi juga kebahagiaan di akhirat. Sebagai manusia, kita harus yakin bahwa hukum Allah adalah yang paling adil dan bijaksana, serta bersumber dari pengetahuan-Nya yang sempurna.

Oleh karena itu, umat Islam harus selalu berpegang pada syariat sebagai panduan hidup yang lurus. Hal ini yang akan membawa kita menuju ridha Allah SWT serta kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Wallahua’lam.

Sopiah, Zahra Pane, dan Riska Annisa Fitri (Mahasiswa PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

17 komentar pada “Hakim Syariat: Mengungkap Kebijaksanaan dan Keadilan Allah

  • May Elisa Sitompul

    Jelaskan perbedaan syariat bersifat universal dengan syariat bersifat abadi?

    Balas
  • Nurjulianti

    Bagaimana menurut pemateri kontribusi hukum Islam dengan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini?

    Balas
    • Mita Raisa Hutabarat

      Siapa saja yang tidak wajib mengamalkan hukum tersebut dan mengapa orang tersebut tidak diwajibkan mengamalkan nya?

      Balas
  • Putri Sabrina Panggabean

    Bagaimana hakim syariat dalam menanggapi perbedaan pendapat para ulama?

    Balas
  • Aisyah putri wahab Piliang

    perkenalkan saya Aisyah putri wahab piliang dari kelompok 4 dengan nim 2320100071 ingin bertanya :
    Jelaskan apa yang dimaksud wahyu matluw (Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (Hadis) Serta berikan contoh dari wahyu matluw dan wahyu ghairu matluw !

    Balas
  • Fikri Yandi

    Mengapa keadilan perlu ditegakkan sesuai syariat islam?

    Balas
  • Nur Alia Nasution

    Apa hubungan syar’iat Dalam kehidupan sehari-hari

    Balas
  • Fifi Angraini

    Bagaimanakah sistem hukum yang sempurna dalam Islam?

    Balas
  • Ahmad Saputra rambe

    Apakah hukum syariat pada masa jaman nabi masih dijalankan sampai saat ini ?

    Balas
  • Putri amelia nasution

    Apa saja prinsip prinsip dasar syariat islam?

    Balas
  • Julina lubis

    Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam Alquran tentang hukum-hukum Islam, bagaimana cara orang awam memahami hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sedangkan sudah kita ketahui banyaknya aliran dan pemahaman yang berbeda

    Balas
  • Siti halima

    Bagaimana peran hakim dalam menjamin keadilan dan kedamaian

    Balas
  • Perkenalkan nama saya Siti hazrah dan ingin bertanya kepada kelompok 1
    Apa yang menjadi alasan kuat untuk tidak menjadikan syariat Islam sebagai salah satu dasar negara?

    Balas
  • Perkenalkan nama saya Siti hazrah dan ingin bertanya kepada kelompok 1
    Apa yang menjadi alasan kuat untuk tidak menjadikan syariat Islam sebagai salah satu dasar negara?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk