Fiqh & Ushul Fiqh

Hak Waris Orang Hilang: Mafqūd dalam Hukum Islam, Simak

TATSQIF ONLINE  Dalam kajian fiqh mawaris, mafqūd adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seseorang yang keberadaannya tidak diketahui, baik masih hidup ataupun telah wafat. Secara etimologis, mafqūd berasal dari kata faqada – yafqidu yang berarti hilang, lepas, atau berpisah. Dalam istilah fikih, para ulama mendefinisikan mafqūd sebagai orang yang menghilang dari keluarganya dalam waktu yang lama hingga terputus kabar mengenainya.

Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah menjelaskan bahwa orang yang hilang tanpa kabar berita dalam jangka waktu lama dan tidak diketahui hidup atau matinya, maka ia disebut sebagai mafqūd, dan harta peninggalannya tidak serta merta dibagi hingga ada keputusan hakim.

Dari kalangan Malikiyah, dijelaskan bahwa mafqūd adalah orang yang menghilang tanpa diketahui nasibnya, dan keluarga merasa kehilangan sampai terputusnya berita. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad bin Ahmad al-Dusuqi dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Sharh al-Kabir, bahwa mafqūd memiliki status hukum ganda: sebagai pewaris (muwarris) dan sebagai ahli waris (warits), tergantung posisi dan waktu kehilangannya.

Syarat dan Ketentuan Pembagian Warisan Bagi Orang Hilang

1. Syarat Pembagian Warisan

Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pembagian warisan terhadap orang hilang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  • Pertama, jika mafqūd adalah satu-satunya ahli waris, maka harta tidak boleh dibagi sampai status mafqūd jelas, apakah masih hidup atau telah wafat.
  • Kedua, jika ada ahli waris lain yang turut serta, maka digunakan dua pendekatan:
    • Pertama, mafqūd dianggap masih hidup, sehingga bagiannya ditahan sementara.
    • Kedua, mafqūd dianggap telah wafat, maka bagiannya dibagi dengan sistem ihtiyath (kehati-hatian) dengan dua metode perhitungan (taqdim dan ta’khir) dan bagian paling kecil yang diberikan kepada ahli waris lain, sedangkan sisanya ditahan.

Metode ini didasarkan pada kaidah fikih al-yaqin la yazulu bi al-syakk (keyakinan tidak hilang karena keraguan). Artinya, selama belum yakin mafqūd wafat, maka ia masih dianggap hidup, sehingga haknya tetap dijaga.

2. Ketentuan Teknis Pembagian Waris

Syekh Abdul Karim Zaidan dalam al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah menyebutkan bahwa ketika status mafqūd belum jelas, maka harta warisan tidak boleh langsung dibagi secara utuh. Sebaliknya, jika dianggap wafat, maka metode pembagian dilakukan dengan mengacu kepada dua kemungkinan hidup dan mati.

Sebagai contoh, jika dalam pembagian warisan terdapat ibu, istri, dan saudara laki-laki sekandung yang hilang (mafqūd), maka bagian masing-masing ditentukan berdasarkan kemungkinan hidup atau mati saudara tersebut. Bagian saudara yang hilang akan ditahan hingga ada kejelasan hukum atau waktu yang cukup lama berlalu.

Contoh Kasus Pembagian Waris Mafqūd

Misalnya, seorang pewaris meninggalkan harta sebesar Rp360 juta dan ahli warisnya terdiri atas: istri, ibu, dan satu saudara laki-laki sekandung yang mafqūd.

1. Jika Mafqūd Dianggap Masih Hidup
  • Istri: 1/4 → 3/12 = Rp90 juta
  • Ibu: 1/3 → 4/12 = Rp120 juta
  • Saudara laki-laki sekandung (asabah): 5/12 = Rp150 juta

Bagian saudara ditahan sementara, diberikan jika ia ternyata masih hidup.

2. Jika Mafqūd Dianggap Wafat
  • Istri: 1/4 → 3/12 = Rp90 juta
  • Ibu: 1/3 → 4/12 = Rp120 juta
  • Sisanya (5/12 = Rp150 juta) menjadi radd untuk ibu, karena istri tidak menerima radd. Maka ibu menerima total Rp270 juta, dan bagian saudara ditangguhkan.

Pendapat Ulama tentang Jangka Waktu Penantian Mafqūd

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama status mafqūd harus ditunggu:

  • Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa penantian adalah empat tahun, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.
  • Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat, mafqūd dinyatakan wafat setelah mencapai usia rata-rata orang meninggal. Dalam al-Hidayah fi Sharh Bidayah al-Mubtadi, dijelaskan bahwa perkiraan usia tersebut berkisar antara 60 hingga 120 tahun, tergantung situasi sosial masyarakat.
  • Sedangkan dalam pandangan fiqh kontemporer, menurut Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhsiyyah, penetapan kematian mafqūd dapat dilakukan berdasarkan keputusan hakim syar’i setelah pertimbangan yang matang dan penyelidikan mendalam, demi menjaga keadilan dan hak-hak keluarga yang ditinggalkan.

Kesimpulan

Mafqūd adalah orang yang menghilang tanpa kabar sehingga tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat. Dalam fiqh mawaris, keberadaannya sebagai ahli waris maupun sebagai pewaris menimbulkan permasalahan hukum yang kompleks. Oleh karena itu, dalam hal pembagian waris, harus dilakukan secara hati-hati dengan dua pendekatan perhitungan. Bagian warisnya pun harus ditahan hingga ada kejelasan status melalui keputusan hakim atau berdasarkan ijtihad fuqaha.

Pandangan ulama seperti Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menunjukkan bahwa penentuan hukum terhadap mafqūd tidak bersifat tunggal, tetapi memerlukan pertimbangan konteks sosial dan hukum syariah. Oleh karena itu, penerapan hukum waris terhadap orang hilang harus melibatkan pemahaman mendalam terhadap nash-nash syariah dan ketentuan yurisprudensi Islam. Wallahua’lam.

Putri Karimah (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

3 komentar pada “Hak Waris Orang Hilang: Mafqūd dalam Hukum Islam, Simak

  • Bagaimana ketika pembagian warisan telah selesai kepada ahli waris yg lain ,tetapi masih ada ahli waris yg hilang kemudian ia kembali ,bagaimana dengan bagian nya?

    Balas
  • Sonia Siregar

    Bagaimana perbedaan pandangan ulama mengenai hak waris bagi orang hilang dalam hukum Islam?

    Balas
  • windiaudifa

    Bagaimana cara menentukan hak waris bagi orang yang hilang jika dia kembali setelah dinyatakan meninggal dunia oleh pengadilan?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk