Fungsi Al-Qur’an dan Metode Penjelasannya dalam Hukum Syariat
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. yang tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga sumber hukum utama dalam Islam. Dalam kerangka ushul fikih, Al-Qur’an ditempatkan sebagai al-maṣdar al-awwal li al-aḥkām asy-syar‘iyyah, yaitu sumber pertama hukum syariat, yang menjadi rujukan bagi seluruh aturan ibadah, muamalah, akhlak, hingga hukum pidana. Kedudukannya yang agung ini ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya:
اِنَّ هٰذَا الْقُرْاٰنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ اَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ اَجْرًا كَبِيْرًاۙ
Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke jalan yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang mengerjakan kebajikan, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS. al-Isrā’ [17]: 9).
Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an memiliki fungsi multidimensi: sebagai petunjuk, pembimbing moral, sekaligus dasar hukum. Artikel ini akan membahas dua aspek utama: fungsi Al-Qur’an dan metode Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum, dengan pendekatan ushul fikih yang mendalam namun mudah dipahami.
Fungsi Al-Qur’an
1. Sebagai Petunjuk Hidup (Hidayah)
Al-Qur’an adalah peta jalan kehidupan. Ia mengarahkan manusia agar tidak tersesat dalam menjalani hidup. Hal ini ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 2:
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Dengan demikian, fungsi utama Al-Qur’an adalah memberi panduan agar manusia menempuh jalan yang benar, bukan hanya dalam aspek ritual, melainkan juga sosial, ekonomi, dan politik.
2. Sebagai Sumber Hukum
Dalam ushul fikih, Al-Qur’an dipahami sebagai sumber hukum tertinggi. Imam al-Syafi’i dalam al-Risālah menegaskan bahwa semua hukum syariat harus berakar pada Al-Qur’an, baru kemudian dijelaskan dengan Sunnah, dan dilengkapi oleh Ijma’ dan Qiyas (al-Syafi’i, 1986: 45). Contoh konkrit adalah kewajiban shalat yang ditegaskan dalam firman Allah:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ
Artinya: “Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (QS. al-Baqarah [2]: 43).
Ayat ini menjadi dasar hukum kewajiban shalat dan zakat, yang kemudian diperinci lebih lanjut oleh Sunnah.
3. Sebagai Pedoman Akhlak dan Moral
Al-Qur’an juga berfungsi sebagai pengarah moral. Nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, kesabaran, dan larangan berbuat zalim sering diulang dalam ayat-ayatnya. Rasulullah Saw. pun menegaskan fungsi moral ini:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad).
Dengan demikian, Al-Qur’an tidak sekadar mengatur hukum formal, tetapi juga membangun peradaban etis.
4. Sebagai Inspirasi Ilmu Pengetahuan
Banyak ayat Al-Qur’an yang memberi isyarat ilmiah tentang penciptaan alam semesta, fenomena sosial, dan hakikat manusia. Isyarat ini mendorong lahirnya tradisi keilmuan Islam klasik yang melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali. Oleh karena itu, fungsi Al-Qur’an juga meliputi inspirasi intelektual.
Metode Al-Qur’an dalam Menjelaskan Hukum
Dalam ushul fikih, pembahasan penting adalah bagaimana Al-Qur’an menyampaikan hukum. Para ulama menyebutnya dengan istilah asālīb al-Qur’ān fī bayān al-aḥkām. Berikut beberapa metode utama.
1. Perintah (Amr)
Al-Qur’an menggunakan bentuk perintah untuk menetapkan kewajiban. Misalnya, tentang kewajiban puasa dalam QS. al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Kata kutiba (diwajibkan) dalam ayat ini adalah bentuk perintah yang menunjukkan kewajiban.
2. Larangan (Nahy)
Metode lain adalah dengan larangan. Misalnya, QS. al-Baqarah ayat 275 tentang riba:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat ini menegaskan secara eksplisit larangan praktik riba, yang menjadi dasar hukum ekonomi Islam.
3. Penetapan Hukum melalui Prinsip Umum (‘Ām)
Al-Qur’an sering menjelaskan hukum dengan ungkapan yang umum, yang berlaku dalam banyak kasus. Misalnya, prinsip keadilan dalam QS. an-Nahl ayat 90:
اِنَّ اللّٰهَ يَاْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَإِيْتَآىِٕ ذِي الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِۗ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Dia melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Prinsip umum ini menjadi dasar dalam banyak aspek hukum, baik ibadah maupun muamalah.
4. Penjelasan dengan Ayat yang Khusus (Khāṣ)
Selain hukum umum, Al-Qur’an juga menyebut hukum dengan rincian khusus. Misalnya, pembagian warisan dalam QS. an-Nisā’ ayat 11:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْۗ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ
Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”
Ayat ini merupakan contoh ayat hukum yang rinci dan tidak memerlukan analogi tambahan.
5. Penjelasan dengan Kisah dan Ibrah
Metode lain yang digunakan Al-Qur’an adalah dengan kisah. Kisah umat terdahulu berfungsi sebagai pelajaran sekaligus penetapan hukum. Misalnya, kisah Bani Israil yang melanggar aturan hari Sabtu (QS. al-Baqarah [2]: 65), yang memberi pelajaran tentang akibat dari melanggar larangan Allah.
6. Penjelasan dengan Hikmah dan Tujuan Hukum
Al-Qur’an juga menyebutkan hikmah di balik hukum. Misalnya, tentang hukum qisas dalam QS. al-Baqarah ayat 179:
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيَوٰةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan hukum qisas adalah menjaga nyawa dan mencegah kejahatan.
Relevansi bagi Kehidupan Modern
Fungsi dan metode Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum membuktikan bahwa syariat Islam tidak statis, tetapi memiliki prinsip-prinsip universal yang dapat diaplikasikan dalam konteks modern. Larangan riba, misalnya, menjadi dasar bagi sistem keuangan syariah. Prinsip keadilan menjadi landasan etika dalam pemerintahan dan hukum. Aturan warisan menjadi referensi hukum keluarga di banyak negara Muslim, termasuk Indonesia.
Dengan memahami metode Al-Qur’an, kita dapat menggali hukum baru yang relevan tanpa keluar dari prinsip syariat. Di sinilah pentingnya ijtihad, yang berfungsi menjembatani teks wahyu dengan realitas sosial.
Kesimpulan
Al-Qur’an memiliki fungsi yang sangat luas: sebagai petunjuk hidup, sumber hukum, pedoman moral, dan inspirasi ilmu pengetahuan. Dalam kerangka ushul fikih, kedudukannya sebagai sumber hukum utama bersifat mutlak, mendahului Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Metode Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum beragam, mulai dari perintah, larangan, prinsip umum, rincian khusus, kisah, hingga penjelasan hikmah hukum. Metode ini menunjukkan fleksibilitas Al-Qur’an dalam merespon persoalan manusia sepanjang zaman.
Bagi umat Islam, memahami fungsi dan metode Al-Qur’an dalam menjelaskan hukum sangat penting agar hukum Islam tetap relevan dan aplikatif. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama, umat Islam dapat menjaga keseimbangan antara hubungan dengan Allah (ḥablum minallāh) dan hubungan dengan sesama manusia (ḥablum minannās), sehingga hukum Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Bunga Sari Dongoran (NIM 2420100195 Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Referensi
- Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. al-Risālah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986.
- Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Kairo: Maktabah al-Jundi, 1997.
- Al-Qurtubi, Abu Abdillah. al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
- Ibn Katsir, Ismail. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1998.
- Wahbah al-Zuhaili. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr, 2002.
- Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2019.
Kenapa al quran harus menggunakan bahasa arab, kenapa tidak bahasa yang lain agar supaya lebih mudah memahaminya jika menggunakan bahasa daerah sendiri?
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena Nabi ﷺ dan masyarakat Arab saat itu berbahasa Arab, sehingga mereka bisa langsung memahami, menghafal, dan menyebarkannya. Bahasa Arab juga dikenal sangat kaya kosakata, jelas dalam makna, dan kuat dalam susunan, sehingga mampu memuat pesan ilahi yang luas dan mendalam tanpa kehilangan makna. Kalau diturunkan dalam banyak bahasa sekaligus, akan menimbulkan perbedaan versi dan kerancuan makna. Karena itu, Allah menetapkan satu bahasa pokok, yaitu Arab, lalu pesan al-Qur’an bisa diterjemahkan ke berbagai bahasa agar mudah dipahami tanpa mengubah teks aslinya yang tetap terjaga.
Bagaimana al quran mengikuti perkembangan jaman di era modern ini, sebab kita terlalu lalai membaca al quran
Al-Qur’an adalah kalāmullah yang bersifat shāliḥ li-kulli zamān wa makān (relevan sepanjang masa dan di setiap tempat). Ia tidak berubah oleh waktu, tetapi petunjuknya selalu bisa menjawab tantangan zaman. Di era modern, meski teknologi berkembang pesat, nilai-nilai al-Qur’an tetap menjadi pedoman: ia menekankan kejujuran dalam bermuamalah, keadilan sosial, pentingnya ilmu pengetahuan, hingga tanggung jawab menjaga bumi. Misalnya, prinsip larangan riba sangat relevan dalam mengkritisi praktik ekonomi modern yang eksploitatif; ajakan membaca dan menuntut ilmu (QS. al-‘Alaq: 1–5) sejalan dengan semangat riset dan inovasi; serta perintah menjaga amanah dan keadilan (QS. an-Nisā’: 58) sangat penting di tengah krisis moral.
Masalahnya, banyak umat Islam lalai membaca al-Qur’an, padahal al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tapi juga dipahami dan diamalkan. Lalai itu membuat kita jauh dari nilai-nilainya, sehingga mudah terjebak pada gaya hidup materialistis. Solusinya, kita perlu kembali mendekat, mulai dari membaca secara rutin walau sedikit, mempelajari tafsir agar paham kandungan maknanya, lalu mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, al-Qur’an tidak hanya menjadi bacaan ritual, tapi benar-benar menjadi cahaya yang menuntun langkah di tengah derasnya arus modernisasi.
bagiamana kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama dan utama?
Al-Qur’an berkedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang pertama dan utama, karena ia adalah kalāmullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk hidup bagi manusia. Al-Qur’an menjadi rujukan pokok dalam segala aspek, baik akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Ia disebut sumber pertama karena semua dasar hukum Islam berpangkal darinya; dan disebut sumber utama karena kedudukannya lebih tinggi daripada sumber-sumber lain seperti sunnah, ijma‘, dan qiyās, yang semuanya harus sesuai dengan al-Qur’an.
Al-Qur’an sendiri menegaskan fungsinya sebagai hudā (petunjuk), bayyinat (penjelas kebenaran), dan furqān (pembeda antara yang benar dan salah), sebagaimana firman Allah ﴿شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ﴾ (al-Baqarah: 185). Dari ayat ini jelas bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup yang harus dijadikan rujukan pertama dalam memutuskan perkara agama dan kehidupan. Sunnah Nabi ﷺ berfungsi menjelaskan dan merinci isi al-Qur’an, sedangkan ijma‘ dan qiyās hanya sah jika tidak bertentangan dengannya.
Dengan demikian, kedudukan al-Qur’an adalah pusat segala ajaran Islam. Siapa yang berpegang teguh padanya akan mendapat petunjuk, dan siapa yang berpaling akan tersesat. Karena itu, umat Islam wajib menjadikan al-Qur’an sebagai landasan utama dalam beriman, beribadah, berakhlak, dan bermuamalah, agar kehidupan selalu sejalan dengan kehendak Allah.