Muamalah

Fikih Muamalah: Membangun Ekonomi Islam yang Berkeadilan

TATSQIF ONLINE  Fikih muamalah memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan panduan etika dan hukum dalam aktivitas ekonomi. Berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah seperti keadilan, kesetaraan, dan larangan riba, fikih muamalah mampu menciptakan sistem ekonomi yang maslahah dan membawa keberkahan bagi seluruh pihak yang terlibat.

Penerapan fikih muamalah dalam praktik ekonomi tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga mendorong terciptanya transaksi yang transparan, jujur, dan bertanggung jawab. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem ekonomi syariah dan mendorong partisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Fikih muamalah menawarkan solusi alternatif terhadap sistem ekonomi konvensional yang seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan. Dalam sistem ekonomi konvensional, keuntungan seringkali menjadi tujuan utama tanpa memperhatikan aspek etika dan dampaknya bagi masyarakat. Sebaliknya, fikih muamalah menekankan pada keseimbangan antara keuntungan dan kemaslahatan, sehingga tidak hanya berorientasi pada keuntungan materi semata, tetapi juga pada aspek sosial dan spiritual.

Dengan demikian, pemahaman dan penerapan fikih muamalah yang baik sangat penting bagi setiap individu dan pelaku ekonomi agar dapat berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, sehingga tercipta masyarakat yang adil, makmur, dan berberkah.

Hukum Mempelajari Fikih Muamalah

Husin Syahatah menyatakan bahwa fikih muamalah, atau fikih ekonomi syariah, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang terlepas dari aktivitas ekonomi dalam menjalani kehidupannya. Oleh sebab itu, hukum mempelajari fikih muamalah adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim.

Seorang Muslim memiliki kewajiban untuk memahami bagaimana bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syariat yang telah Allah tetapkan. Apabila tidak memahami perkara muamalah ini, maka tanpa disadari bisa terjerumus kepada sesuatu yang diharamkan maupun syubhat. Seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT sudah seharusnya berusaha keras menjadikan muamalahnya sebagai amal saleh dan dilakukan ikhlas hanya untuk Allah semata.

Memahami hukum muamalah adalah wajib bagi setiap Muslim, namun untuk menjadi pakar (ahli ilmu/ulama) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Fikih muamalah diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan hadis oleh para fukaha. Melalui kaidah-kaidah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktikkan dalam kehidupan ekonomi umat.

Dalam epistemologinya, setelah Al-Qur’an dan hadis, terdapat ijtihad dengan menggunakan rasio atau akal. Ijtihad merupakan upaya penggunaan akal untuk memformulasikan dan menghasilkan produk hukum (Muhammad Syarif Hidayatullah, 2021).

Syekh Zakariya al-Anshari, salah seorang ulama fikih termuka dalam kitabnya Fathul Wahab, yang juga sering menjadi kitab rujukan kalangan pesantren di Indonesia, mendefinisikan fikih sebagai al-‘ilm bil-ahkāmi ash-shyariyyah al-‘amaliyyah al-mukhtasab min adillatīhā al-tafsīliyyah, yang berarti fikih adalah ilmu/pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diambil dari dalilnya yang sudah terperinci (Ahmad Nilhal Muna Chifdlil Ula, dkk, 2023).

Prinsip-prinsip Muamalah Kontemporer

Fikih muamalah adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang sasarannya adalah harta benda atau mal. Hubungan tersebut sangat luas karena mencakup hubungan antara sesama manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Namun, ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara umum untuk kegiatan muamalah ini. Prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Muamalat adalah Urusan Duniawi

    Muamalat berbeda dengan ibadah. Dalam ibadah, semua perbuatan dilarang kecuali yang diperintahkan. Oleh karena itu, semua perbuatan yang dikerjakan harus sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Dalam ibadah, kaidah yang berlaku adalah:

    الأصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ وَالْاتَّبَاعُ

    Artinya: “Pada dasarnya dalam ibadah harus menunggu perintah dan mengikuti kaidah.”

    Sejalan dengan kaidah lain yang berbunyi:

    الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الْأَمْرِ

    Artinya: “Pada dasarnya dalam ibadah semuanya batal, sehingga ada dalil yang memerintahkannya.”

    Sebaliknya, dalam muamalah, semuanya boleh kecuali yang dilarang. Kegiatan muamalah atau hubungan dan pergaulan antara sesama manusia dalam hal harta benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan kepada manusia itu sendiri.

    Maka dari itu, semua bentuk akad dan berbagai macam transaksi yang dilakukan dan dibuat manusia hukumnya sah dan diperbolehkan, selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang diatur oleh syara’. Hal ini sesuai dengan kaidah:

    الْمُعَامَلَاتُ طَلْقٌ حَتَّى يَثْبُتُ الْمَنْعُ

    Artinya: “Transaksi muamalah itu bebas, sampai ada larangan.”

    2. Muamalat Harus Didasarkan pada Kerelaan Para Pihak (ʿan-Tarādīn)

      Asas yang paling penting dalam transaksi muamalat adalah adanya kerelaan dari para pihak agar tidak ada salah satu pihak yang mengalami kerugian. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nisa ayat 29:

      يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

      Ayat di atas menjelaskan bahwa transaksi antara sesama manusia tidak boleh dilakukan secara batil. Akan tetapi, Allah memberikan jalan keluar (solusi) dalam memenuhi kebutuhan hidup yaitu dengan transaksi (akad) yang di dalamnya harus terdapat kerelaan kedua belah pihak. Maka, asas kerelaan ini dijadikan kaidah fikih yang diberlakukan dalam bidang muamalah yang berbunyi:

      الرِّضَا سَيِّدُ الْأَحْكَامِ

      Artinya: “Kerelaan adalah dasar dari hukum (transaksi muamalat).”

      3. Muamalat Harus Terhindar dari Maysir, Gharar, Riba, dan Jahalah

        Prinsip dalam kegiatan muamalat harus bebas dari maysir, gharar sehingga barang yang menjadi objek transaksi merupakan barang yang jelas baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Bahkan selain gharar, setiap dalam kegiatan transaksi yang dilakukan harus terhindar dari jahalah, riba, paksaan (ikrah).

        Para fukaha sepakat bahwa setiap transaksi jual beli dalam Islam yang disyariatkan dan diperbolehkan adalah transaksi yang di dalamnya terdapat kerelaan dari para pihak dan transaksi tersebut terbebas dari pemalsuan, penimbunan (ihtikar), gharar, adanya unsur riba, kecacatan, kebohongan, merupakan barang haram dan segala bentuk tindakan untuk memperoleh harta secara batil.

        Larangan transaksi dengan cara, media, dan objek transaksi yang diharamkan baik barang maupun jasa seperti riba, menimbun, ketidakpastian objek transaksi (gharar), makan dan minuman yang haram, dan segala hal yang menjurus pelanggaran moral berdasarkan kaidah fikih sebagai berikut:

        كُلُّ مُعَامَلَةٍ فِيهَا غَرَرٌ وَجَهَالَةٌ فِيْمَا يَقْصُدُ فَهِيَ بَاطِلَةٌ

        Semua ulama fikih sepakat bahwa setiap transaksi muamalat yang tidak sah apabila di dalamnya terdapat unsur gharar dan jahalah.

        Dengan adanya prinsip ini, setiap transaksi muamalat akan terhindar dari perkara yang batil, termasuk di dalamnya terdapat transaksi dengan sistem riba yang diharamkan Allah sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

        وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟

        Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 275)

        Rasulullah bersabda bahwa segala bentuk transaksi muamalat harus bebas dari cacat yang tersembunyi yang merupakan dampak dari jahālah dalam transaksi:

        عَنْ عُقْبَةِ بْنِ عَامِرٌ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ : الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ . وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بِاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعاً فِيْهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيْنَهُ لَهُ

        Artinya: “Dari Uqbah bin Amir berkata saya mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.”

        4. Tidak Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain

          Transaksi muamalat dalam Islam tidak boleh menyebabkan kerugian atau kezaliman, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah:

          لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

          Artinya: “Jangan merugikan diri sendiri dan orang lain.”

          Berdasarkan hadis di atas, maka terbentuklah kaidah fikih yang dapat dijadikan landasan dalam menjalankan transaksi muamalat yang berbunyi:

          الضَّرَرُ يُزَالُ

          Artinya: “Segala bentuk kemudaratan harus dihilangkan.”

          5. Prinsip Ta’awun (Tolong-menolong)

            Prinsip dalam transaksi muamalat yang paling penting adalah prinsip tolong menolong sebagaimana dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia harus saling membantu dan menolong dengan sesamanya. Dengan prinsip ini, setiap transaksi yang dilakukan akan mewujudkan sikap saling menggantungkan antarpihak yang bersangkutan (Ahmad Syaichoni, 2023).

            Tantangan Fikih Muamalah di Era Modern

            Ketika umat Islam mengalami kemunduran dan kebekuan berpikir, dunia Barat muncul sebagai kekuatan baru dengan peradaban modern yang ditunjang oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Ketika dunia Islam menjadi jajahan Barat, termasuk Indonesia, Islam pun mengalami kontak dengan dunia modern Barat yang diikuti dengan perkenalan dari berbagai aspek kemajuan di bidang militer, politik, dan peralatan yang canggih, yang sedikit banyak membawa pertentangan baru dalam dunia hukum Islam.

            Kitab-kitab fikih klasik kurang mampu menyelesaikan permasalahan baru yang timbul akibat perkembangan zaman. Alasannya adalah tidak adanya Nash dalam Al-Qur’an dan hadis serta tidak ditemukannya fatwa yang memperbolehkan hal itu dalam kitab fikih klasik. Sehingga mengundang cemohan dan nada sinis dari luar, karena hukum Islam seolah-olah tidak sesuai atau bahkan menghambat kemajuan berpikir peradaban manusia.

            Permasalahan serupa itu akan semakin banyak muncul seiring dengan perkembangan IPTEK dan cara berpikir manusia. Sebagai contoh, bayi tabung, transplantasi organ tubuh, bunga bank, dan soal emansipasi wanita di berbagai bidang kehidupan. Permasalahan semacam itu membutuhkan wawasan kefikihan yang baru pula, dan tidak dapat diselesaikan jika hanya kembali menelaah kitab-kitab fikih klasik.

            Kesimpulan

            Fikih muamalah memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi umat Islam. Ia tidak hanya memberikan panduan etika dan hukum dalam beraktivitas ekonomi, tetapi juga menawarkan solusi alternatif terhadap sistem ekonomi konvensional yang seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan. Dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah, fikih muamalah dapat menciptakan sistem ekonomi yang maslahah dan membawa keberkahan.  Wallahua’lam.

            Nurjannah (
            Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

            • Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

              Lihat semua pos Lecturer

            Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

            Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

            15 komentar pada “Fikih Muamalah: Membangun Ekonomi Islam yang Berkeadilan

            • Fadil igabsa siregar

              Bagaimana kedudukan fiqih muamalah dalam perkembangan ekonomi Islam ?

              Balas
              • Fiqih muamalah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi Islam. Fiqih muamalah merujuk pada hukum-hukum Islam yang mengatur interaksi dan transaksi antar individu dalam masyarakat, termasuk dalam hal jual beli, sewa menyewa, utang piutang, dan kegiatan ekonomi lainnya. Dalam konteks ekonomi Islam, fiqih muamalah menjadi landasan bagi pengembangan sistem ekonomi yang adil dan beretika, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

                Beberapa poin penting yang menjadikan fiqih muamalah memiliki peran besar dalam ekonomi Islam antara lain:

                1. Mengatur Prinsip Keuangan Islam: Fiqih muamalah mengatur berbagai bentuk transaksi yang sah menurut Islam, termasuk larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian), yang menjadi dasar bagi sistem ekonomi Islam yang bebas dari praktik yang merugikan pihak tertentu.

                2. Mendorong Keadilan Ekonomi: Dalam fiqih muamalah, terdapat prinsip keadilan dan keseimbangan dalam setiap transaksi. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya penindasan terhadap pihak yang lebih lemah dalam perjanjian ekonomi, seperti dalam kontrak jual beli atau pinjam meminjam.

                3. Sistem Zakat dan Wakaf: Fiqih muamalah juga mengatur mekanisme zakat dan wakaf sebagai instrumen redistribusi kekayaan. Zakat membantu mengurangi kesenjangan sosial dengan menyalurkan sebagian kekayaan untuk membantu yang membutuhkan, sementara wakaf mendukung pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

                4. Meningkatkan Etika Bisnis: Fiqih muamalah tidak hanya berfokus pada transaksi ekonomi, tetapi juga menekankan pentingnya etika dalam bisnis, seperti kejujuran, transparansi, dan saling menghormati dalam hubungan bisnis.

                Dengan demikian, fiqih muamalah berfungsi sebagai landasan normatif yang membantu membentuk sistem ekonomi Islam yang tidak hanya efisien tetapi juga berorientasi pada kesejahteraan umat. Dalam perkembangan ekonomi Islam modern, fiqih muamalah menjadi pedoman bagi lembaga keuangan Islam, pasar saham syariah, dan berbagai bentuk transaksi bisnis yang sesuai dengan syariat Islam.

                Balas
            • Muhammad Ridho Munthe

              bagaimana hukum mu’amalah nya jika kita membeli suatu barang (sepeda) yang harganya itu cukup murah ,misal Rp500.000, lalu kita kembali menjual barang tersebut dengan harga yang sangat besar, misal Rp.1.500,000, apakah ini termasuk kepada hukum yang Mendzolim atau termasuk kedalam unsur riba??

              Balas
              • Dalam hukum mu’amalah Islam, jual beli yang dilakukan tidak akan dianggap zalim atau riba selama memenuhi prinsip-prinsip yang sudah ditentukan dalam syariat, yaitu adanya keridhaan dari kedua belah pihak, kejujuran dalam transaksi, dan tidak ada unsur penipuan atau pengambilan keuntungan yang tidak adil.

                Jika Anda membeli sepeda seharga Rp500.000 dan kemudian menjualnya seharga Rp1.500.000, selama transaksi tersebut dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak tanpa ada unsur penipuan, manipulasi harga, atau eksploitasi yang tidak adil, maka transaksi tersebut pada dasarnya sah dan tidak termasuk riba. Dalam hal ini, keuntungan yang diambil bukan merupakan riba, karena tidak ada pengambilan bunga atau keuntungan atas hutang, melainkan keuntungan yang diperoleh dari perbedaan harga jual-beli barang.

                Namun, perlu diperhatikan beberapa hal berikut untuk memastikan transaksi tersebut tidak termasuk kedzaliman atau riba:

                1. Kejujuran dalam penetapan harga: Anda harus jujur dan transparan mengenai kondisi barang yang dijual. Jika sepeda tersebut bekas, harus dijelaskan kepada pembeli bahwa barang tersebut bekas dan masih layak pakai, sehingga pembeli bisa mempertimbangkan harga yang ditetapkan.

                2. Tidak ada unsur penipuan: Harga yang sangat tinggi tidak boleh didasarkan pada penipuan atau eksesifitas yang membebani pembeli tanpa alasan yang wajar. Selama ada alasan yang masuk akal untuk menetapkan harga tersebut (misalnya karena barang tersebut langka atau memiliki kualitas tertentu), maka itu tidak dianggap sebagai penipuan.

                3. Tidak ada unsur riba: Riba terjadi dalam konteks transaksi utang-piutang yang melibatkan bunga. Dalam kasus jual beli, jika tidak ada unsur pinjaman dan bunga, maka tidak akan ada unsur riba.

                Jika prinsip-prinsip tersebut dipenuhi, maka transaksi jual beli tersebut tidak akan dianggap zalim atau mengandung riba, meskipun ada perbedaan besar antara harga beli dan harga jual.

                Balas
            • Al Vian

              Muamalat Harus Terhindar dari Maysir, Gharar, Riba, dan Jahalah
              Coba pemateri jelaskan secara singkat apa yang dimaksud maysir, Gharar, Riba, dan Jahalah

              Balas
              • Dalam hukum muamalat Islam, ada beberapa hal yang harus dihindari agar transaksi bisnis tetap sesuai dengan prinsip syariat. Berikut adalah penjelasan singkat tentang maysir, gharar, riba, dan jahalah:

                1. Maysir (Perjudian)
                Maysir merujuk pada transaksi atau kegiatan yang mengandung unsur perjudian atau spekulasi yang tidak pasti hasilnya. Dalam konteks muamalat, ini berarti melakukan transaksi yang menghasilkan keuntungan atau kerugian secara acak tanpa ada kepastian yang jelas, seperti judi atau taruhan yang bergantung pada keberuntungan.

                2. Gharar (Ketidakpastian)
                Gharar adalah ketidakpastian atau kebingungannya suatu transaksi yang membuat salah satu pihak merasa dirugikan karena tidak mengetahui dengan pasti barang yang dijual atau kondisi transaksi tersebut. Misalnya, menjual barang yang belum jelas keberadaannya atau transaksi yang belum pasti hasilnya. Gharar mengarah pada ketidakjelasan dalam objek transaksi atau waktu pelaksanaannya.

                3. Riba (Bunga)
                Riba adalah tambahan atau keuntungan yang diperoleh dengan cara yang tidak sah dalam transaksi, terutama dalam pinjaman uang. Riba terjadi ketika ada pembayaran tambahan (bunga) yang diterima oleh pihak yang memberikan pinjaman uang, di luar pokok utang, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

                4. Jahalah (Ketidaktahuan atau Ketidakjelasan)
                Jahalah terjadi ketika salah satu pihak dalam transaksi tidak memahami atau tidak mengetahui dengan jelas tentang objek atau syarat-syarat dalam transaksi tersebut. Ini dapat menciptakan ketidakadilan karena salah satu pihak mungkin dirugikan tanpa pemahaman yang tepat, misalnya ketika ada ketidakjelasan mengenai harga, kualitas barang, atau syarat jual beli.
                Keempat hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dalam transaksi ekonomi Islam dan harus dihindari agar transaksi muamalat tetap sah dan halal.

                Balas
            • Febriyantika Sari Pasaribu

              Coba pemateri jelaskan bagaimana prinsip keadilan dalam ekonomi Islam diterapkan dalam praktik muamalah sehari hari sehingga praktik muamalah dapat efisien dan baik untuk dilaksanakan

              Balas
              • Prinsip keadilan dalam ekonomi Islam sangat penting agar praktik muamalat sehari-hari berjalan dengan baik, efisien, dan sesuai dengan syariat. Berikut adalah cara penerapan prinsip keadilan dalam praktik muamalat sehari-hari:

                1. Keadilan dalam Penetapan Harga (Tawar-Menawar) Dalam Islam, harga harus ditetapkan secara adil tanpa penipuan atau eksploitasi. Penjual dan pembeli harus memiliki kebebasan untuk menawar harga, dan keduanya harus mendapatkan keuntungan yang wajar. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam transaksi jual beli, dan harga yang disepakati adalah hasil dari kesepakatan bersama berdasarkan nilai barang atau jasa tersebut.

                2. Keadilan dalam Keuntungan (Tidak Ada Exploitasi) Keuntungan yang diperoleh dalam transaksi haruslah adil dan tidak mengambil keuntungan berlebihan (misalnya harga yang sangat tinggi dibandingkan nilai barang). Dalam Islam, praktik usury atau bunga (riba) yang menyebabkan pihak tertentu terjebak dalam beban yang tidak adil harus dihindari. Hal ini menciptakan sistem ekonomi yang saling menguntungkan antara pihak yang terlibat.

                3. Transparansi dan Keterbukaan (Menghindari Gharar dan Jahalah) Keadilan dalam muamalat juga mengharuskan transparansi dan keterbukaan informasi dalam transaksi. Penjual harus memberikan informasi yang jelas tentang barang atau jasa yang dijual, termasuk kualitas, kondisi, dan harga yang tepat. Ini menghindari praktik ketidakjelasan (gharar) atau ketidaktahuan (jahalah) yang bisa merugikan salah satu pihak. Keterbukaan ini menciptakan rasa saling percaya dan mengurangi potensi konflik dalam transaksi.

                4. Tanggung Jawab Sosial dan Keadilan Distribusi, Dalam ekonomi Islam, penting untuk memastikan bahwa setiap transaksi tidak hanya menguntungkan individu, tetapi juga memberi manfaat kepada masyarakat secara keseluruhan. Misalnya, menghindari monopoli dan mendukung distribusi kekayaan yang lebih merata melalui zakat, sedekah, atau investasi yang memperhatikan kesejahteraan sosial.

                5. Menghormati Hak Pihak Lain (Tidak Ada Maysir dan Gharar) Islam melarang praktik perjudian (maysir) yang dapat merugikan pihak lain dengan cara yang tidak adil. Dalam muamalat, setiap transaksi harus menghindari unsur spekulasi yang mengandung ketidakpastian yang tinggi (gharar), yang bisa menyebabkan kerugian yang tidak terduga bagi salah satu pihak.

                6. Pembayaran yang Tepat Waktu dan Adil Dalam transaksi hutang-piutang, prinsip keadilan mengharuskan pembayaran dilakukan tepat waktu tanpa adanya penambahan bunga atau denda yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. Ini mencegah terjadinya riba dan membantu membangun hubungan bisnis yang sehat dan saling menguntungkan.

                Dengan mengutamakan prinsip-prinsip ini, ekonomi Islam tidak hanya memastikan efisiensi dalam praktik muamalat sehari-hari, tetapi juga menjaga integritas, kesejahteraan sosial, dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Sebagai hasilnya, praktik muamalat menjadi lebih baik, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

                Balas
            • Dewi Fitria

              Kapan disiplin ilmu fiqih muamalah muncul? Dan berikan contoh solusi alternatif yang ditawarkan fiqih muamalah terhadap sistem ekonomi yang seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakseimbangan?

              Balas
              • Fiqih Mu’amalah sebagai disiplin ilmu dalam Islam muncul sejak masa awal perkembangan Islam, khususnya setelah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat memberikan contoh praktis tentang bagaimana melakukan transaksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Meskipun aspek ekonomi dan sosial telah dibahas dalam konteks hukum Islam sejak awal, sistem fiqih mu’amalah berkembang lebih rinci pada masa khalifah setelahnya, terutama pada abad ke-3 dan ke-4 H (9-10 M). Pada masa ini, para ulama mulai menyusun kaidah dan aturan yang lebih sistematis tentang transaksi perdagangan, jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain yang berkaitan dengan interaksi ekonomi.
                Fiqih mu’amalah berfokus pada hubungan antara manusia dalam hal-hal yang bersifat duniawi, seperti perdagangan, kontrak, dan transaksi keuangan, dengan tujuan untuk memastikan keadilan, transparansi, dan kesejahteraan umat.

                Balas
            • Bagaimana cara meminjam atau melakukan transaksi agar menjadi sah,dan adil dan bagaimana hukum meminjam uang dengan bunga

              Balas
              • Untuk memastikan transaksi meminjam atau melakukan transaksi menjadi sah, adil, dan sesuai dengan prinsip syariat Islam, ada beberapa aturan dan prinsip yang perlu dipahami, baik dalam konteks peminjaman uang maupun transaksi lainnya.

                1. Kejelasan dalam Tujuan dan Syarat: Transaksi yang sah harus memiliki tujuan yang jelas dan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Misalnya, dalam peminjaman uang, kedua pihak harus sepakat mengenai jumlah yang dipinjam, jangka waktu pengembalian, dan bagaimana cara pengembalian uang tersebut. Kejelasan ini menghindari adanya gharar (ketidakpastian) dan jahalah (ketidaktahuan).

                2. Keadilan dalam Bagi Hasil atau Pembayaran Jika transaksi melibatkan keuntungan atau pembagian hasil (seperti dalam mudharabah atau musyarakah), maka keuntungan dan risiko harus dibagi secara adil sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di awal. Keuntungan yang diambil dari transaksi harus wajar dan tidak eksploitatif, serta menghindari unsur maysir (perjudian).

                3. Tidak Ada Unsur Riba Transaksi harus menghindari riba, yakni mengambil keuntungan atau bunga yang tidak wajar dari uang yang dipinjam. Semua bentuk bunga atas pinjaman uang dianggap haram dalam Islam, karena dapat menyebabkan ketidakadilan dan eksploitasi pihak yang meminjam.

                4. Kejujuran dan Transparansi: Kedua pihak harus jujur dan tidak ada penipuan dalam transaksi. Baik pihak peminjam maupun pemberi pinjaman harus memberikan informasi yang jujur mengenai kondisi yang ada, termasuk jika ada resiko dalam transaksi tersebut

                5. Saling Ridha (Persetujuan) Transaksi yang sah dan adil adalah yang dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak tanpa adanya paksaan. Setiap pihak harus rela dengan ketentuan yang ada dalam transaksi tersebut, tanpa ada yang merasa dirugikan.

                Hukum Meminjam Uang dengan Bunga (Riba)

                Dalam Islam, meminjam uang dengan bunga (riba) adalah haram. Hal ini karena transaksi yang melibatkan bunga (riba) berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan eksploitasi, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam mu’amalah.

                1. Definisi Riba: Riba dalam konteks pinjaman uang adalah tambahan atau bunga yang dibebankan kepada pihak yang meminjam uang di luar pokok utang, yang harus dibayar dalam jangka waktu tertentu. Bunga ini dianggap sebagai keuntungan yang tidak sah, karena tidak ada imbalan yang jelas atau usaha yang dilakukan oleh pemberi pinjaman selain menunggu pembayaran kembali.

                2. Alasan Riba Diharamkan
                Eksploitasi Riba dapat mengeksploitasi orang yang membutuhkan pinjaman, terutama mereka yang berada dalam kesulitan finansial. Pinjaman dengan bunga yang tinggi sering kali membebani peminjam, bahkan menyebabkan mereka terjerat dalam utang yang semakin besar.

                Tidak Adil Keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman dari bunga adalah keuntungan tanpa adanya usaha atau resiko yang sah, yang menyebabkan ketidakadilan. Dalam sistem riba, pihak peminjam hanya memberikan uang, sedangkan pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan tanpa berbagi risiko.

                Kesejahteraan Sosial Islam mengajarkan untuk saling membantu tanpa memanfaatkan kesulitan orang lain. Peminjaman uang dengan bunga bertentangan dengan nilai solidaritas dan keadilan sosial.

                Alternatif yang Diperbolehkan dalam Islam:

                1. Peminjaman Tanpa Bunga (Qardh Hasan) Islam mengizinkan peminjaman uang tanpa bunga, yang dikenal dengan qardh hasan (peminjaman yang baik). Peminjam hanya perlu mengembalikan pokok pinjaman sesuai dengan kesepakatan tanpa ada tambahan bunga atau biaya lainnya. Ini adalah bentuk peminjaman yang sah dan sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

                2. Bagi Hasil (Mudharabah atau Musyarakah) Sebagai alternatif dari pinjaman berbunga, Islam mendorong transaksi yang berbasis pada bagi hasil. Dalam sistem mudharabah, misalnya, pemodal (pemberi dana) dan pengelola (peminjam atau penerima dana) akan membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati di awal. Ini membuat kedua pihak berbagi risiko dan keuntungan secara adil.

                3. Murabahah (Jual Beli dengan Keuntungan yang Disepakati) Dalam konteks pembelian barang, fiqih mu’amalah mengizinkan sistem murabahah, di mana penjual membeli barang dan menjual

                Balas
            • Rizki Fadilah

              Apakah ekonomi islam sudah mengadopsi seluruh nilai-nilai islam?

              Balas
            • Perianti Nasution

              Sebutkan dan jelaskan satu contoh lain dari praktik muamalah dalam ekonomi Islam yang dapat membantu mewujudkan keadilan sosial.

              Balas

            Tinggalkan Balasan

            Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

            × Chat Kami Yuk