Ashabah Sababiyah: Hak Waris di Luar Keturunan Nasab, Simak
TATSQIF ONLINE – Warisan merupakan salah satu aspek hukum Islam yang telah diatur dengan jelas dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam sistem pembagian warisan Islam, ada dua kategori utama ahli waris: ashabul furudh (ahli waris yang memiliki bagian tertentu yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadis) dan ashabah (ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah ashabul furudh menerima bagiannya).
Ashabah sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu ashabah bin nafsi (ashabah karena hubungan darah langsung seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, dan ayah) dan ashabah sababiyah (ashabah karena sebab tertentu yang bukan hubungan nasab langsung). Dalam pembahasan ini, kita akan mengupas lebih dalam mengenai ashabah sababiyah, sebab-sebab terjadinya, serta perbedaannya dengan ashabah lainnya dalam hukum kewarisan Islam.
Definisi dan Konsep Ashabah Sababiyah
Secara etimologi, ashabah berasal dari kata العَصَبَة yang berarti “mengikat” atau “menyatukan”. Dalam terminologi ilmu faraid (ilmu waris Islam), ashabah adalah ahli waris yang mendapatkan bagian setelah hak-hak ashabul furudh ditunaikan. Jika masih ada sisa harta setelah ashabul furudh menerima bagian mereka, maka harta tersebut diberikan kepada ashabah.
Ashabah sababiyah adalah ahli waris yang mendapatkan bagian warisan bukan karena hubungan darah (nasab), melainkan karena suatu sebab tertentu yang diakui dalam hukum Islam. Ada dua bentuk utama ashabah sababiyah, yaitu:
1. Wala’ al-Itq (ashabah karena memerdekakan budak)
Dalam sistem perbudakan yang pernah berlaku di zaman Nabi Muhammad SAW, seseorang yang membebaskan budak berhak menjadi ahli waris jika budak tersebut tidak memiliki ahli waris nasab. Konsep ini didasarkan pada prinsip bahwa orang yang membebaskan budak memiliki keterikatan hukum tertentu dengan mantan budaknya.
2. Muwalat (ashabah karena sumpah kesetiaan atau perjanjian tolong-menolong)
Dalam kasus tertentu, jika seseorang tidak memiliki ahli waris dari jalur nasab, ia bisa mengadakan perjanjian (muwalat) dengan orang lain, yang menyatakan bahwa orang tersebut akan menjadi ahli warisnya jika ia meninggal dunia tanpa ahli waris.
Dalil-Dalil yang Menjadi Dasar Ashabah Sababiyah
Konsep ashabah sababiyah memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan hadis. Salah satu dalil yang sering dijadikan rujukan adalah firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Anfal ayat 75:
وَأُوْلُواْ ٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat ini menegaskan bahwa hubungan kekerabatan lebih diutamakan dalam pewarisan. Namun, dalam kondisi tertentu di mana tidak ada ahli waris nasab, maka sebab lain bisa dijadikan dasar pewarisan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis berikut:
إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Artinya: “Sesungguhnya wala’ (hak waris karena memerdekakan budak) itu adalah bagi orang yang memerdekakan (budak tersebut),” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang yang membebaskan budak memiliki hak waris terhadap mantan budaknya jika budak tersebut tidak memiliki ahli waris nasab.
Jenis-Jenis Ashabah Sababiyah dan Aplikasinya dalam Hukum Islam
1. Wala’ al-Itq (Hak Waris karena Memerdekakan Budak)
Sebelum perbudakan dihapuskan, seorang budak yang dimerdekakan sering kali tidak memiliki keluarga yang bisa menjadi ahli warisnya. Dalam Islam, orang yang telah memerdekakan budak (disebut mu’tiq jika laki-laki dan mu’tiqah jika perempuan) memiliki hak untuk mewarisi harta budaknya jika ia meninggal dunia tanpa ahli waris.
Contohnya, jika seorang budak laki-laki dimerdekakan oleh seseorang dan kemudian hidup mandiri tanpa menikah dan tanpa memiliki keluarga, maka ketika ia meninggal dunia, mantan tuannya yang telah memerdekakannya memiliki hak untuk mewarisi hartanya. Hal ini karena dalam hukum Islam, pembebasan budak menciptakan suatu hubungan hukum antara mantan tuan dan budak yang dimerdekakan.
Namun, dalam konteks modern di mana sistem perbudakan sudah dihapus, hukum ini menjadi tidak relevan lagi dalam praktik warisan Islam saat ini.
2. Muwalat (Perjanjian Sumpah Kesetiaan dalam Warisan)
Dalam beberapa kasus, seseorang yang tidak memiliki ahli waris bisa membuat perjanjian dengan orang lain untuk menjadi ahli warisnya. Misalnya, seorang laki-laki tua yang tidak memiliki anak, saudara, atau keluarga bisa membuat perjanjian muwalat dengan seorang pemuda untuk mengurusnya di masa tua. Dalam perjanjian ini, disepakati bahwa jika orang tua tersebut meninggal dunia, pemuda tersebut akan mendapatkan hak warisnya.
Dasar dari konsep ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW:
الْمُوَالَاةُ كَالْوَرَاثَةِ
Artinya: “Perjanjian muwalat itu seperti (hak) warisan,” (HR Abu Dawud).
Praktik muwalat ini memiliki kemiripan dengan konsep wasiat wajibah dalam hukum waris Islam modern, di mana seseorang bisa mewasiatkan sebagian hartanya kepada orang yang telah berjasa kepadanya, meskipun tidak memiliki hubungan nasab.
Perbedaan Ashabah Sababiyah dengan Ashabah Nasabiyah
Aspek | Ashabah Sababiyah | Ashabah Nasabiyah |
---|---|---|
Sebab Pewarisan | Karena suatu sebab (memerdekakan budak atau perjanjian muwalat) | Karena hubungan darah langsung (nasab) |
Hak Pewarisan | Hanya mendapat bagian jika tidak ada ahli waris nasab | Mendapat bagian setelah ashabul furudh menerima bagiannya |
Konteks Keberlakuan | Dulu berlaku dalam sistem perbudakan dan masyarakat yang menggunakan perjanjian tolong-menolong | Berlaku dalam seluruh konteks kehidupan umat Islam |
Dalil | Hadis tentang wala’ dan muwalat | Al-Qur’an dan hadis tentang pembagian warisan berdasarkan nasab |
Kesimpulan
Ashabah sababiyah merupakan konsep dalam hukum waris Islam yang memberikan hak waris kepada seseorang berdasarkan sebab tertentu selain hubungan darah, seperti karena memerdekakan budak atau perjanjian sumpah kesetiaan (muwalat). Meskipun dalam praktik modern konsep wala’ al-itq sudah tidak relevan karena sistem perbudakan telah dihapus, prinsip muwalat masih dapat ditemukan dalam beberapa praktik hukum waris Islam, terutama dalam bentuk wasiat wajibah.
Pemahaman yang mendalam tentang ashabah sababiyah membantu kita dalam memahami fleksibilitas hukum Islam dalam menangani berbagai kondisi sosial, serta bagaimana Islam memberikan solusi yang adil dalam pembagian warisan, baik bagi keluarga maupun individu yang telah berjasa dalam kehidupan seseorang. Wallahua’lam.
Silvi Nasution (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
4. Bagaimana hak waris Ashabah Sababiyah ditentukan dan berapa besar bagian yang diterimanya?
Izin bertanya kepada saudari..
Jika sebuah permasalahan warisan melibatkan lebih dari satu Ashabah Sababiyah, bagaimana cara membandingkan dan menetapkan hak waris berdasarkan prinsip-prinsip fiqih yang ada?
Bagaimana ketentuan hak waris bagi ashabah sababiyah dibandingkan dengan ahli waris nasabiyah?
Bagaimana cara menetapkan bagian warisan bagi orang yang mendapatkan hak waris melalui sabab (sababi),seperti karena pernikahan atau perjanjian tertentu?
Bagaimana status hak waris untuk orang yang telah membebaskan budak (mu’tiq)dalam konteks ashabah sababiyah?
Berapa bagian ahli waris seorang istri apabila ditinggal mati suaminya tanpa mempunyai keturunan anak?
Apa yang harus dilakukan oleh ahli waris jika saat pembagian harta warisan datang anak yatim atau orang miskin?