Asbabun Nuzul: Menelusuri Latar Belakang Turunnya Al-Qur’an
TATSQIF ONLINE – Para ulama telah merumuskan definisi asbabun nuzul, yang mengacu pada kejadian khusus atau peristiwa tertentu yang terjadi dan memiliki hubungan langsung dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut Az-Zarqoni, asbabun nuzul berfungsi sebagai penjelasan hukum saat peristiwa itu terjadi. Ash-Shabuni menjelaskan bahwa asbabun nuzul berkaitan dengan peristiwa yang menjadi penyebab turunnya ayat, baik itu pertanyaan kepada Nabi atau peristiwa tertentu.
Subhi Shalih dan Mana’ Al-Qaththan juga menggambarkan asbabun nuzul sebagai peristiwa yang memicu turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, seringkali sebagai tanggapan atau penjelasan terhadap hukum-hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
Menurut M. Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an, asbabun nuzul tidaklah dimaknai secara harfiah sebagai hubungan sebab akibat yang menyiratkan bahwa tanpa adanya peristiwa atau kasus, ayat Al-Qur’an tidak akan diturunkan.
Istilah asbab dan nuzul digunakan dalam konteks yang lebih luas. Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa bergantung pada peristiwa spesifik. Begitu pula, istilah nuzul tidak merujuk pada turunnya ayat secara fisik, melainkan pada penyampaian wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat Jibril dari alam ghaib ke alam nyata.
Pembahasan mengenai asbabun nuzul sangat penting dalam studi ilmu Al-Qur’an, karena merupakan kunci utama dalam memahami konteks dan latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini menjadi landasan penting dalam memperkuat keyakinan terhadap keaslian Al-Qur’an sebagai wahyu yang benar-benar turun dari Allah SWT.
Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul
Berdasarkan definisi yang disampaikan, asbabun nuzul suatu ayat bisa berasal dari peristiwa atau pertanyaan. Ayat atau beberapa ayat bisa turun untuk menjelaskan situasi tertentu atau memberikan jawaban atas pertanyaan khusus. Sebab turunnya ayat dalam bentuk peristiwa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis:
1. Pertengkaran
Ketika suku Auz dan Khazraj sedang berkumpul, mereka memperbincangkan permusuhan masa jahiliyah, yang memicu kemarahan dan perselisihan. Seorang Yahudi bernama Syash bin Qais menghasut mereka dengan cerita palsu untuk memecah belah.
Akibatnya, pertengkaran pecah antara kedua suku tersebut. Ketegangan ini dilaporkan kepada Rasulullah SAW, yang kemudian datang untuk memberikan nasihat dan menyelesaikan konflik tersebut, yang membuat mereka taat pada nasihat beliau.
Peristiwa ini menyebabkan turunnya Alqur’an surat Ali Imran ayat 100 berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تُطِيْعُوْا فَرِيْقًا مِّنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ يَرُدُّوْكُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ كٰفِرِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu mengikuti sebagian dari orang yang diberi Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah beriman.”
2. Kesalahan Fatal
Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf mengundang Ali dan teman-temannya untuk makan bersama. Ketika minuman keras dihidangkan, mereka meminumnya dan otak mereka terganggu. Saat tiba waktu shalat, mereka meminta Ali untuk menjadi imam, dan pada saat itu dia membaca ayat dengan keliru.
Peristiwa ini menjadi latar belakang turunnya Alqur’an surat An-Nisa’ ayat 43 sebagai teguran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
3. Persesuaian dengan Keinginan (Muwafaqat)
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab pernah menyatakan, “Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara.” Ia kemudian menyampaikan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kita menjadikan sebagian dari Maqam Ibrahim sebagai tempat salat?” Setelahnya, turunlah Alqur’an surah Al-Baqarah ayat 125 sebagai berikut:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat kembali bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.”
Baca Juga: Asbabun Nuzul: Mengungkap Kedalaman Makna Al-Qur’an
Redaksi dan Makna Ungkapan Asbabun Nuzul
Melansir dari laman nursyamcentre.com, Penulisan riwayat asbabun nuzul dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang jelas (sharih) dan yang kemungkinan (muhtamal). Yang dimaksud dengan sharih adalah ketika perawi—baik Sahabat atau Tabi‘in—menyampaikan informasinya dengan sangat jelas, menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang menyampaikan alasan turunnya suatu ayat.
Sementara yang muhtamal, sang perawi tidak begitu jelas dalam informasinya; mungkin ia sedang menyampaikan alasan turunnya ayat, atau mungkin juga sedang berpendapat bahwa apa yang ia sampaikan termasuk dalam kategori penerapan hukum, yang terkandung dalam suatu ayat.
1. Ungkapan yang Jelas (Sharih)
Redaksi sharih sering kali diungkapkan melalui tiga jenis ungkapan. Pertama, sabab nuzul hadzih al-ayah kadza, yang berarti, “Sebab turunnya ayat ini adalah ini.” Kedua, hadatsa kadza fanazalat/fanuzilat al-ayah, yang artinya, “Telah terjadi peristiwa ini, lalu turunlah/diturunkanlah ayat ini.” Ketiga, su’ila Rasulullah salla Allah ‘alaih wa sallam fanazalat/fanuzilat al-ayah, yang mengindikasikan bahwa, “Rasulullah SAW ditanya perihal ini, maka turunlah/diturunkanlah ayat ini.”
Contoh redaksi tersebut dalam Alqur’an surah Al-Mai’dah ayat 2 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَلَا ٱلْهَدْىَ وَلَا ٱلْقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghalalkan syiar-syiar Allah, dan jangan pula bulan haram, dan jangan (pula) binatang-binatang hadyu, dan jangan (pula) tali-tali (tempat penunjuk) keberhalaan, dan jangan (pula) orang-orang yang menghadap ke Baitullah sedang mencari karunia dari Rabb mereka dan keridhaan. Tetapi apabila kamu telah melaksanakan ibadah haji, maka berburulah. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Qamaruddin Shaleh dan M. D. Dahlan, dkk. dalam buku mereka yang berjudul Asbabun Nuzul, menyebutkan asbabun nuzul ayat ini terkait dengan kisah seorang lelaki bernama Hatham bin Hindun al-Bakri yang datang ke Madinah bersama kafilahnya membawa bahan makanan untuk dijual.
Setelah menjual barang dagangannya, ia bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan memeluk Islam. Namun, ketika ia hendak pulang, Nabi melihat ke belakangnya dan berkata kepada orang-orang di sekitarnya bahwa wajahnya tampak berdusta dan ia pergi dengan langkah khianat. Sekembalinya ke Yaman, ia murtad dari agama Islam.
Pada bulan Dzulqaidah, ia berangkat ke Makkah bersama kafilahnya. Ketika para sahabat Nabi mendengar kabar ini, sebagian dari mereka bersiap-siap untuk menangkap Hatham dan kafilahnya. Namun, Allah SWT kemudian menurunkan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah…” (QS. Al-Maidah/5:2). Setelah mendengar ayat tersebut, para sahabat mengurungkan niat mereka untuk menghadang kafilah tersebut (demi menghormati bulan haji).
2. Muhtamal (Masih Berupa Kemungkinan)
Demikian pula, redaksi muhtamal sering kali diungkapkan melalui tiga jenis ungkapan. Pertama, nazalat hadzih al-ayah fi kadza, yang berarti, “Ayat ini turun dalam hal ini.” Kedua, ahsibu hadzih al-ayah nazalat fi kadza, yang artinya, “Saya kira ayat ini turun dalam hal ini.” Ketiga, ma ahsibu hadzih al-ayah nazalat illa fi kadza, yang mengindikasikan bahwa, “Saya tidak mengira ayat ini turun kecuali dalam hal ini.”
Sebagai contoh ungkapan yang muhtamilah adalah Alqur’an surah Al-Baqarah ayat 223 berikut ini:
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ ۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.”
Asbabun nuzul ayat ini terdapat dalam riwayat yang disampaikan oleh Jabir, dikatakan bahwa orang-orang Yahudi mengatakan, “Barang siapa yang mendatangi perempuan (istrinya) dari arah duburnya menuju kemaluannya, maka anak yang lahir akan memiliki cacat.” Maka Allah SWT menurunkan ayat, “Nisa’ukum harstun lakum” (istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian).
Asbabun nuzul dari ayat ini juga dijelaskan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asbabun Nuzul. Riwayat dari Ibnu Abbas, yang menggambarkan bahwa di sekitar Madinah, penduduknya hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan meniru banyak perbuatan mereka. Salah satu kebiasaan yang dianggap baik adalah tidak menggauli istrinya dari belakang. Di Makkah, penduduknya lebih bebas dalam hal ini. Ketika seorang Muhajirin menikah dengan seorang wanita Ansar, ia melakukan seperti biasa, tetapi ditolak karena kebiasaan di Madinah adalah menggauli istrinya dari depan. Kejadian ini sampai kepada Nabi, dan turunlah ayat tersebut yang memperbolehkan menggauli istrinya dari depan, belakang, atau dalam posisi terlentang, selama tetap di tempat yang lazim.
Satu Ayat, Banyak Sebab
Pertama, Mengakomidir kedua-duanya atau semuanya, bila redaksi yang ditampilkan muhtamal
Jika pada satu ayat terdapat dua riwayat asbabun nuzul yang berbeda dan redaksinya sama-sama muhtamal, maka biasanya maksud periwayatan tersebut adalah penafsiran, bukan sebab turunnya ayat. Dengan demikian, meskipun terdapat perbedaan antara kedua riwayat tersebut, tidak perlu dipertentangkan jika isi ayat dapat mengakomodir keduanya.
Contohnya: ‘Utsman, Ibn ‘Umar, dan al-Suddi memberikan pendapat terkait surah al-Humazah. Menurut ‘Utsman dan Ibn ‘Umar, surah ini diturunkan terkait dengan seseorang yang suka mencela dan mencibir orang lain. Sedangkan menurut al-Suddi, surah ini diturunkan mengenai al-Walid bin al-Mughirah, yang terkenal dengan sifat mencemooh dan mencibirnya terhadap Nabi Muhammad.
Utsman dan Ibnu ‘Umar mengatakan:
ما زلنا نسمع أن ويل لكل همزة نزلت في أبي بن خلف
Artinya: “Kami selalu mendengarkan bahwa Wailun li kulli Humazah itu turun berkenaan dengan Ubay bin Khalaf.“
Sementara al-Suddi, menyatakan:
نزلت في الأخنس بن شريق
Artinya: “(Surah al-Humazah itu) turun berkenaan dengan al-Akhnas bin Syariq.”
Dengan mempertimbangkan bahwa redaksi yang disajikan oleh kedua pendapat tersebut muhtamal dan ayat surah al-Humazah dapat mengakomodir keduanya, maka kedua pendapat tersebut dianggap sebagai penafsiran, bukan penjelasan tentang sababun nuzul. Dalam hal ini, kedua pendapat tersebut dapat dikompromikan dan diterima sebagai sudut pandang yang berbeda dalam memahami makna surah al-Humazah.
Kedua, Memilih yang sharih daripada yang muhtamal, bila yang satu beredaksi sharih, yang lain muhtamal.
Jika terdapat perbedaan redaksi antara dua riwayat asbabun nuzul, di mana salah satu redaksinya sharih dan yang lain muhtamal, maka yang dipilih dan dijadikan pedoman adalah yang sharih. Contohnya terdapat dalam dua riwayat hadis berikut:
عن ابن عمر قال: نزلت نساؤكم حرث لكم في إتيان النساء في أدبارهنّ
Artinya: “Dari Ibn ‘Umar, ia berkata: Ayat nisa’ukum harstun lakum itu turun berkenaan dengan mendatangi perempuan dari arah dubur mereka,” (HR Bukhari).
عن جابر قال: كانت اليهود تقول: من أتى امرأة من دبرها في قبلها جاء الولد أحول فأنزل الله نساؤكم حرث لكم
Artinya: “Dari Jabir, ia berkata: Orang-orang Yahudi berkata, “Barang siapa yang mendatangi perempuan (istrinya) dari arah dubur ke qubulnya, maka si anak akan lahir dalam keadaan mata juling.” Maka Allah SWT menurunkan ayat nisa’ukum hartsun lakum,” (HR Muslim).
Dari contoh di atas, redaksi yang disampaikan oleh Jabir lebih jelas, sehingga riwayatnya dijadikan pedoman sebagai sababun nuzul surah al-Baqarah ayat 223. Penjelasan dari Jabir merupakan periwayatan (naql), sementara yang disampaikan oleh Ibn ‘Umar dianggap sebagai ijtihad pribadinya.
Ketiga, Memilih yang statusnya sahih, bila kedua-duanya atau semuanya beredaksi sharih.
Jika ada dua riwayat sababun nuzul yang sama-sama sharih, namun rangkaian sanad yang satu lebih sahih daripada yang lain, maka yang dijadikan pedoman adalah yang memiliki status sanad yang lebih sahih. Misalnya, dalam kasus dua riwayat sharih terkait turunnya surah ad-Dhuha:
أن النبي صلى الله عليه وسلم اشتكى فلم يقم ليلة أو ليلتين فأتته امرأة فقالت يا محمد ما أرى شيطانك إلا قد تركك فأنزل الله (والضحى والليل إذا سجى ما ودعك ربك وما قلى)
Artinya: “Bahwa Nabi SAW sakit, sehingga beliau tidak qiyamul lail (tahajud) selama satu atau dua malam. Maka seorang perempuan—yakni al-‘Aura’ b. Harb, saudara perempuannya Abu Sufyan—mendatangi beliau seraya berkata, “Hai Muhammad, aku tidak melihat setanmu kecuali dia telah meninggalkanmu. Maka Allah SWT menurunkan, “Demi waktu dhuha, dan demi waktu malam apabila telah sunyi. Tuhanmu (Nabi Muhammad SAW) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
أن جروا دخل بيت النبي صلى الله عليه وسلم فمات تحت السرير ومكث أربعة أيام لا ينزل عليه الوحي حتى تنبهوا له وأخرجوه فنزل جبريل بقوله والضحى
Artinya: “Bahwa seekor anjing masuk ke rumahnya Nabi SAW, kemudian mati di bawah tempat tidur beliau dan tetap di sana sampai empat hari—Nabi tidak mengetahuinya. Maka selama empat hari itu pun tidak ada wahyu yang turun kepada beliau hingga mereka (anggota rumah/para sahabat) menyadarinya dan mengeluarkan anjing itu dari sana. Maka malaikat Jibril turun dengan membawa firman-Nya, surah al-Dhuha,” (HR al-Thabrani).
Meskipun kedua riwayat tersebut sama-sama beredaksi sharih, riwayat pertama menjadi pedoman karena status sanadnya lebih sahih daripada yang kedua. Imam Ibn Hajar mengomentari kedua riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa kisah tentang keterlambatan Jibril disebabkan oleh anjing memang masyhur, tetapi statusnya sebagai sababun nuzul ayat menjadi hal yang asing. Dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak dikenal. Oleh karena itu, yang dijadikan pedoman adalah riwayat yang terdapat dalam al-Sahih (al-Bukhari).
Wallahu A’lam
Oleh Husnil Khotimah Siregar (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Apakah seluruh ayat al-qur’an memiliki asbabun nuzul atau tidak?
Menurut saya tidak, karena tidak semua ayat Alqur’an ada asbabun nuzulnya, melainkan hanya sepertiga ayat Alqur’an saja yang ada asbabun nuzulnya.
apakah seluruh ayat Al-Qur’an memiliki asbabun Nuzul atau tidak?
Tidak, karena tidak semua ayat Alqur’an ada asbabun nuzulnya melainkan hanya sepertiga ayat Alqur’an yang ada asbabun nuzulnya.
Bagaimana kita tau asbabun nujul suatu ayat?
Bagaimana alquran mempengaruhi dan mengubah masyarakat pada saat itu
apakah asbabun nuzul memengaruhi pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al-qur’an
Bagaimana kondisi masyarakat arab sebelum turunnya Al-Qur’an
Bagaimana peran asbanun Nuzul dalam penafsiran Al Qur’an?
Apa hubungan antara asbabun nuzul dan konteks sejarah dalam al-qur’an?
Mengapa asbabun nuzul penting dalam memahami ayat-ayat al qur’an
Bagimana cara mengetahui asbabun nuzul suatu ayat?
Apa yang terjadi jika kita tidak memahami asbabun nuzul?
Bagaimana peran asbanun Nuzul dalam penafsiran Al Qur’an?
Jelaskan apa fungsi dari asbabun nuzul?
Bagaimana relevansi asbabun Nuzul dalam konteks kontemporer dan bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari
Apa fungsi dari asbabul nuzul ?
samakah asbabun nuzul dengan nuzulul qur’an ??
Bagaimana pendapat pemateri terkait asbabun nuzul?
Apa pengaruh asbabun Nuzul di kehidupan sehari-hari