Anjuran Sunnah Nabi dan Landasan Hukum Menikah
TATSQIF ONLINE – Perkawinan memiliki peran krusial dalam kehidupan dan perkembangan manusia. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala melalui utusan-Nya, memberikan panduan tentang perkawinan sebagai dasar hukum. Dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa hidup berpasang-pasangan adalah naluri bagi semua makhluk Allah SWT, termasuk manusia.
Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an surah Adz-Dzariyat ayat 49 sebagai berikut:
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan sepasang, agar kamu dapat mengingat (kebesaran Allah).”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
Artinya: “Menikah adalah bagian dari sunnahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia bukan termasuk bagian dari golonganku. Oleh karena itu, nikahilah, karena aku ingin menjadi pemimpin umat dengan jumlah yang banyak di hari kiamat,” (HR Ibnu Majah).
Larangan Tabattul (Membujang)
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ ، وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا
Artinya: “Rasulullah SAW tidak mengizinkan ‘Utsman bin Mazh’un untuk tabattul (hidup membujang), kalau seandainya beliau mengizinkan tentu kami (akan bertabattul) meskipun (untuk mencapainya kami harus) melakukan pengebirian,” (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah itu, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ath Thobariy, yang menyatakan bahwa tabattul yang dimaksud oleh ‘Utsman bin Mazh’un adalah mengharamkan diri untuk menikahi wanita, dan menolak untuk menggunakan wewangian, serta menghindari segala sesuatu yang menyenangkan.
Kemudian, turunlah Alquran surah Al-Ma’idah ayat 87 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu.”
Dalam beberapa sumber, termasuk Ensiklopedia Fikih dari Kementerian Agama Kuwait dan kitab Subulus Salam karya Ash Shan’ani, tabattul diartikan memutuskan atau mengasingkan diri dengan tujuan utama untuk beribadah kepada Allah.
Orang yang mengasingkan diri dengan tujuan beribadah kepada Allah disebut sebagai al-mutabattil. Hal ini menunjukkan bahwa tabattul lebih menekankan pada keengganan untuk menikah demi fokus dalam beribadah kepada Allah, bukan sekadar hidup membujang tanpa alasan yang jelas.
Pemahaman yang tepat dari hadis tersebut menunjukkan bahwa tidak ada kecaman secara mutlak terhadap pilihan hidup membujang. Hal ini terutama berlaku jika seseorang tidak menikah karena alasan tertentu seperti kondisi yang tidak memungkinkan, ketidakmampuan untuk menikah, sakit, atau alasan lainnya.
BACA JUGA: Menggali Makna Ibadah Pernikahan dalam Islam, Simak
Hukum Menikah
Menikah memiliki manfaat dan keutamaan dalam Islam, seperti menjaga kehormatan, menjauhkan dari perbuatan zina, dan membentuk keluarga harmonis. Meskipun hukum menikah dalam Islam adalah sunnah, bagi mereka yang takut terjerumus dalam perbuatan zina dan mampu menikah, menikah dapat menjadi wajib.
Sulaiman Rasyid menyebutkan dalam bukunya, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), pada dasarnya Islam menganjurkan umatnya untuk menikah, namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum dasar perkawinan.
Menurut mayoritas ulama, hukum dasar perkawinan adalah wajib. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, hukum dasar perkawinan adalah mubah. Dalam Islam, seseorang diperbolehkan untuk menikah dengan tujuan mencari kenikmatan dalam perkawinan.
Terdapat lima jenis hukum perkawinan, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah, sebagaimana diuraikan oleh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah:
Wajib Menikah
Perkawinan dikategorikan sebagai wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan. Hal ini juga ditekankan karena adanya kekhawatiran bahwa jika seseorang tidak menikah, maka kemungkinan besar akan lebih mudah terjerumus dalam perbuatan zina. Oleh karena itu, menjaga diri dari perbuatan zina melalui perkawinan dianggap sebagai kewajiban.
Sunnah Menikah
Perkawinan dikategorikan sebagai sunnah bagi seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menikah dan telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan serta memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan. Namun, jika seseorang tidak melakukan perkawinan dan tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina, maka perkawinan dalam hal ini menjadi sunnah, yaitu dianjurkan tetapi tidak diwajibkan.
Haram Menikah
Hukum perkawinan dapat dikategorikan sebagai haram, bagi seseorang yang belum memiliki keinginan untuk menikah, dan tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan, serta memikul kewajiban-kewajiban dalam hidup perkawinan.
Selain itu, jika seseorang memiliki niatan menyengsarakan istrinya atau memiliki tujuan untuk berbuat zalim melalui perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi haram. Islam melarang keras perbuatan zalim terhadap siapapun, sehingga segala bentuk alat atau sarana untuk berbuat zalim juga diharamkan.
Makruh Menikah
Perkawinan menjadi makruh bagi seseorang yang memiliki kemampuan dari segi materi, memiliki daya tahan mental yang cukup sehingga tidak khawatir terseret dalam perbuatan zina, tetapi masih memiliki kekhawatiran tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap istri.
Meskipun kondisi ini tidak berakibat menyusahkan pihak istri, misalnya jika pihak istri termasuk orang yang kaya atau calon suami belum memiliki keinginan untuk menikah.
Dalam hal ini, perkawinan menjadi tidak dianjurkan (makruh) karena adanya ketidakpastian dalam memenuhi kewajiban terhadap istri, meskipun tidak ada dampak langsung yang merugikan pihak istri.
Mubah Menikah
Perkawinan hukumnya menjadi mubah bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial, namun jika tidak menikah, mereka tidak merasa khawatir melakukan perbuatan zina atau tidak merasa cemas untuk melalaikan kewajiban mereka terhadap istri.
Perkawinan dilakukan semata-mata untuk memenuhi kesenangan pribadi, tanpa tujuan untuk membentuk keluarga atau menjaga keselamatan dalam hidup beragama.
Wallahu A’lam
Oleh Rahmat Alansyah (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Kapan hukum menikah itu menjadi haram??
Hukum menikah menjadi haram atau tidak diperbolehkan dalam Islam tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Secara umum, terdapat beberapa situasi di mana menikah menjadi haram:
Menikahi seseorang yang sudah memiliki pasangan resmi (zina): Menikahi seseorang yang sudah menikah secara resmi atau melakukan hubungan intim di luar pernikahan (zina) adalah haram dalam Islam.
Menikah dengan kerabat terdekat: Menikahi kerabat dekat seperti ibu, saudara kandung, anak kandung, nenek, kakek, cucu, dan sebagainya, dianggap sebagai perkara haram dalam Islam.
Menikah dengan seseorang yang bukan beragama Islam: Bagi seorang Muslim, menikahi seseorang yang tidak beragama Islam tanpa adanya konversi ke Islam dari pasangan tersebut juga dianggap haram.
Menikah saat sedang dalam masa iddah (menunggu): Seorang wanita yang baru saja bercerai atau kehilangan suaminya harus menunggu masa iddahnya sebelum menikah lagi. Menikah selama masa iddah masih berlaku dianggap sebagai haram.
Menikah dalam keadaan yang melanggar hukum atau etika Islam: Menikah dalam keadaan yang melanggar hukum atau etika Islam, seperti menikahi seseorang dengan tujuan yang tidak baik atau untuk kepentingan yang tidak benar, juga dianggap sebagai haram.
Bagaimana dengan hadis yang berbunyi النكاح من سنتى فمن لم يعمل بسنة وليس منى jadi bagaimana orang yang tidak bisa menikah ( memiliki kelainan) apakah ia tidak menjadi golongan rasul
Hadis tersebut menekankan pentingnya menikah sebagai bagian dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Bagi mereka yang menghadapi kesulitan atau keterbatasan untuk menikah, Islam memberikan pemahaman dan toleransi. Tidak menikah bukan berarti seseorang tidak termasuk dalam golongan umat Nabi Muhammad SAW. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan setiap individu dihormati dalam keadaan yang berbeda.
Orang yang memiliki kelainan fisik atau kondisi medis yang mencegah mereka untuk menikah tidak secara otomatis menjadi golongan rasul dalam islam.Status golongan rasul dalam islam di tentukan oleh panggilan khusus dan wahyu yang di terima dari allah swt, bukan oleh kemampuan seseorang untuk menikah,oleh karena itu,kondisi fisik atau kemampuan untuk menikah tidak mempengaruhi status seseorang sebagai rasul.
Gini kata saudara Rahmat tadi wajib menikah kalau dia tidak bisa menahan hawa napsu dia yang menjadi pertanyaanan saya bagaimana kalau ada seseorang yang dia tidak bisa menahan hawa nafsunya tapi dia belum bisa menafkahi istrinya apakah dia tetap wajib menikah?
Dalam Islam, menikah dianjurkan bagi mereka yang mampu memberikan nafkah kepada pasangan hidupnya. Jika seseorang tidak mampu memberikan nafkah, disarankan untuk menunda pernikahan sampai memiliki kemampuan tersebut. Menahan hawa nafsu adalah bagian dari pengendalian diri yang diajarkan dalam Islam, dan alasan ini tidak seharusnya menjadi dasar untuk menikah jika belum memenuhi syarat-syarat yang diperlukan dalam pernikahan. Pernikahan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan nafsu, tetapi juga membentuk keluarga yang saling mendukung dan bertanggung jawab.
Bagaimana dengan hadis yang berbunyi النكاح من سنتى فمن لم يعمل بسنة وليس منى jadi bagaimana orang yang tidak bisa menikah ( memiliki kelainan) apakah ia tidak menjadi golongan rasul?
Hadis tersebut tidak menyiratkan bahwa seseorang yang tidak menikah akan keluar dari Islam atau tidak lagi dianggap sebagai umat Nabi Muhammad. Sebaliknya, hadis tersebut memberikan dorongan yang sangat kuat untuk menikah dan menjelaskan bahwa dalam syariat Islam, konsep “membujang” tidak diakui.
Seseorang yang tidak menikah karena ada alasan syar’i yang sah tidak termasuk dalam kategori yang diingatkan dalam hadis tersebut. Ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditujukan kepada orang yang menganggap hidup membujang sebagai bentuk cinta lebih kepada Allah dan sebagai cara yang lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Orang seperti ini dianggap oleh Nabi sebagai kelompok yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, bukan sebagai bagian dari golongannya.
Artikel tentang anjuran Sunnah menikah ini bagus sekali..karna terdapat dalam Alquran surah adz dzariyat yang mana artinya: “(kami ciptakan sepasang agar kamu saling mengingat) mengingat kebesaran Allah.”
Dari ibadah menikah saja kita bisa mengingat Allah, apa lagi ibadah yang lain.
Terima kasih. Betul sekali, Saudara.
Di dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan hai sekalian manusia siapa yg mampu dari pada kalian menikah maka menikahlah dan menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan dan barang siapa yang tidak mampu baginya untuk menikah maka berpuasalah maka itu lebih baik untuk menjaganya.
Apakah semua pernikahan itu membawa kebaikan dan keindahan, sementara di realita sekarang banyak pernikahan yang terpaksa yang membawa kemelaratan pada si perempuan?
Betul, pada kenyataannya tidak semua pernikahan membawa kebaikan, dan beberapa pernikahan yang terpaksa atau tidak cocok bisa berujung pada kesulitan dan kesengsaraan. Namun, bukan berarti pernikahannya yang salah, tapi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan itu yang bermasalah.
Hal ini bisa menyebabkan masalah, terutama bagi perempuan yang mungkin mengalami dampak yang lebih besar secara sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu, kita perlu memilih pasangan hidup dengan bijaksana, berkomunikasi secara terbuka, dan memastikan kesepahaman sebelum menikah.
Mempengaruhi ,akan tetapi itu bukan satu satunya faktor yg mempengaruhinya ada juga faktor yg lain seperti emosional nya dan jg secara logika usia tidak menjadi tolak ukur kematangan seseorang akan tetapi semakin bertambahnya usia seseorang mereka akan memahami dan mempertimbangkan suatu keputusan dalam pernikahan.
Apakah umur mempengaruhi tingkat kematangan seseorang untuk menikah
Ya, umur dapat mempengaruhi tingkat kematangan seseorang untuk menikah. Pada dasarnya, seseorang yang lebih tua cenderung memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi karena pengalaman hidup yang lebih banyak dan perkembangan psikologis yang lebih matang. Mereka mungkin lebih stabil secara emosional, memiliki pemahaman yang lebih baik tentang hubungan dan komitmen, serta lebih mampu mengatasi konflik dan tantangan dalam pernikahan.
Namun, penting untuk diingat bahwa tingkat kematangan seseorang tidak hanya ditentukan oleh usia, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti pengalaman hidup, pendidikan, dan pengembangan pribadi. Oleh karena itu, ada beberapa kasus di mana seseorang yang lebih muda dapat memiliki tingkat kematangan yang cukup untuk menikah, sementara orang yang lebih tua mungkin belum siap untuk mengambil langkah tersebut.
Dalam Islam, umur juga dapat menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika menentukan kesiapan seseorang untuk menikah. Namun, lebih penting lagi untuk memperhatikan kesiapan secara keseluruhan dari segi fisik, emosional, dan mental seseorang sebelum memutuskan untuk menikah.
Tidak semua pernikahan itu membawa kebaikan dan keindahan,memang diera jaman sekarang banyak sekali kita lihat pernikahan yang terpaksa dan membawa kemelaratan, terutama bagi perempuan yang sering menjadi korban ketidak setaraan gender,dan jg kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena itu perlu untuk mengupayakan hubungan yg sehat,dan komunikasi yg baik.
Memang didalam hadist jg dipertegas Sunnah untuk menikah apa bila ia sudah mampu atau sanggup dalam segi hal apapun dan disitulah Sunnah untuk nya menikah dan adakalanya jg menikah itu jadi haram apabila ia ada niat nanti setelah menikah untuk menganiaya nya maka hukum pernikahan nya itu haram.dan ada kalanya jg pernikahan itu wajib apabila ia sudah mampu memberikan belanja nya dan dari segi apapun sudah mampu dan dia diharuskan untuk menikah .